Sejenak, saya melupakan apa yang menjadi prioritas. Sejenak, saya memilih untuk menjadi cewek egois. Sejenak pula, saya memilih untuk terlebih dulu menyenangkan hati saya sendiri. Saya sedang tidak gembira, tidak sedang berbunga-bunga, apalagi jatuh cinta. Tahun 2015 seharusnya menjadi tahun penentuan hidup saya, masa depan saya. Tahun di mana saya tak lagi bersikap santai, tak lagi duduk manis menunggu apa yang terjadi satu jam kemudian. Sesungguhnya, saya harus keluar dari situasi buruk ini. Situasi ini hanya buruk untuk saya.
Saya tidak sedang ingin membagi ketidakstabilan hidup saya, saya hanya ingin membagi cerita perjalanan singkat saya dan saudara-saudaraku tercinta. Beginilah cara saya untuk 'melarikan diri'. Saya tidak pernah berpikir panjang jika ada kesempatan untuk 'lari' sejenak.
Sabtu, 10 Januari 2015 - Bandung
Saya mencoba untuk menstabilkan ketidakseimbangan hidup yang sedang kurasa cukup berat. Udara segar sekiranya dapat membangkitkan semangat saya. Saya lebih menyukai suasana alam terbuka ketimbang taman hiburan seperti dufan atau trans studio, terlebih lagi mall. Saya tidak hobi shopping, saya bukan tukang belanja-belanji karena sejatinya saya bukan orang berduit.
Kami memilih Puncak Bintang sebagai destinasi paling oke. Kebetulan, cuaca sedang cerah, sangat cerah. Langit terlihat begitu indah, lukisan yang tak ternilai harganya. Saya selalu takjub dengan semua kebesaran Tuhan. Selama saya masih diberi nikmat berupa mata yang sehat (saat ini sih rabun), saya tidak ingin ketinggalan menyaksikan Maha Indah Ciptaan Tuhan.
Terpancar jelas indahmu
Tak terurai oleh kata betapa indah dirimu
Benarkah surga seperti itu?
Inilah surga semu
Yang akan hancur seiring berjalannya waktu
Bait terakhir itu maksudnya kiamat. Para pecinta wisata pegunungan Bandung, tentu tak asing dengan daerah Cartil (Caringin Tilu). Tidak sulit untuk menuju Puncak Bintang, tinggal melaju lurus dari kawasan Cartil hingga sampai di TKP. Perjalanan kami kira-kira 30-45 menit dari Arcamanik. Medan yang kami tempuh cukup seru, jalan menanjak lengkap dengan tikungan tajamnya, waspada dalam berkendara sangat diperlukan untuk sampai ke Puncak Bintang. Jangan sekali-kali mengabaikan keselamatan, seperti yang saya lakukan karena kondisi rem motor saya yang kurang bagus. Berangkat memang tak khawatir karena jalan menanjak, tapi perjalanan pulang, kamu akan berhadapan dengan jalanan menurun cukup tajam plus tikungan tajam pula. Bagian menegangkan mengendarai motor rem lumayan blongnya nanti saja.
Kenapa disebut Puncak Bintang? Simpel saja, karena ada bintang di puncaknya. Parkir saja dulu, lalu beli tiketnya, cuma 8000 rupiah kok. Dengan Rp.8000 kamu sudah bisa menjelajahi hutan pinus, patahan lembang, batu lonceng dll (tidak semua kami jelajahi). Bagi yang ingin mencoba naik gunung, mulailah dari sini sebelum menghadapi gunung yang sesungguhnya. Percayalah.
Kulihat hamparan pinus disekeliling kami
Langit indah tertutupi
Mata kami gencar mencari-cari
Buah pinus yang bernilai seni
Entah apa yang saat itu ada di pikiran saya, tapi saya sangat excited dengan gaya-gaya pendekar hahahaha. Ini karena sebelumnya saya menonton film Pendekar Tongkat Emas yang ternyata terlihat sangat keren di mata saya. Wow Amazing!!! Terlebih kami memungut beberapa batang pohon kecil cukup panjang yang bisa dijadikan 'Tongkat Emas'. Jadilah kami Si Pendekar Tongkat Abal-Abal.
Tidak ada maksud untuk menggantikan peran Dara siiiih, jauh banget kayaknya, bagaikan langit dan inti bumi. Namanya juga Pendekar Tongkat Abal-abal, jadi ya cukup niat di bagian gaya aja. Kostum ala kadarnya, tongkat dapet mulung, ekspresi sengaja dibuat agak siluet karena.....ah sudahlah, view? okelah ya mendukung.
Saya memang paling hobi jelong-jelong. Inginnya selama masih tinggal di Bandung, saya bisa sedikit menjelajahi tempat-tempat wisata di Bandung, khususnya wisata alam. Masih banyak sekali tempat-tempat eksotis yang belum saya kunjungi. Habiskan Bandung dulu, kali, ya heu. Asiknya jelong-jelong rame-rame tuh ya pada saat pose bersama. Emang dasarnya narsis, kali, ya. Waktu kecil, saya sama sekali tidak narsis, mungkin sekarang itu semacam balas dendam haha. Semua kusimpan sebagai kenang-kenangan kelak saya sudah punya cucu hahaha aminin, ya.... (padahal punya anak aja belom)
Kaki melangkah tiada lelah
Raut wajah tak tampak jengah
Sorot mata jauh menengadah
Lelah terasa saat tiba di rumah
Entah sudah berapa lama kami berjalan mengelilingi perbukitan. Warung menjadi tempat favorit kami, cinta sekali dengan warung-warung cantik yang tersedia di sana. Jarang tapi. Hendaknya memang membawa perbekalan makanan dan minuman. Terutama minuman, penting sekali. Medannya cukup wow, menanjak, menurun, menanjak lagi, menurun lagi. Cukup membuat kami sering kehausan. Siapa pun tidak akan menyesal, meskipun lelah, tapi semua terbayar dengan suguhan hamparan pegunungan yang seolah tengah mengelilingi kami.
indah, bukan?
Bagian paling menegangkan adalah saat perjalanan pulang. Lebih tepatnya saya sebagai pengendara motor yang punya tanggung jawab mengantar adik (ketemu gede) saya sampai ke rumahnya dengan selamat. Saya berharap ada jalan lain untuk pulang, namun sepertinya jalan lain itu jauh lebih ekstrim ketimbang jalan aspal. Ya, jalan melewati perbukitan, itulah jalan lainnya. Silakan bayangkan motor matic lengkap dengan rem ala-alanya melewati jalan perbukitan terjal. Uh.
Saya dihadapkan dengan jalanan merunun tajam plus belokan tajam. Rasanya seperti naik halilintar, bahkan lebih seram. Percayalah, kematian bisa datang kapan saja. Terlebih di sebelah kiri saya langsung terhampar jurang terjal ulala. Motor saya meluncur tanpa aba-aba karena remnya agak blong. Pasti, saya dan adik saya berteriak hingga pengendara di depan kami menoleh. Mungkin dia berpikir, "Ngape sih jalan gitu doank pake tereak segala! tinggal rem keleus!"
Saya berharap tidak ada mobil yang lewat karena jalannya cukup sempit. Tuhan berkata lain, ada 2 mobil yang lewat. Mobil pertama berhasil saya lewati tapi ban motor saya langsung keluar aspal dan hanya beberapa senti dari bibir jurang. Penderitaan belum usai, ada mobil kedua tepat di tikungan dna berhenti pula ditambah di depan saya ada motor. Saat itu saya merasa bersalah karena mengklakson padahal seharusnya tidak perlu. Klakson itu artinya "Minggir wooooyyy rem gueh blooong...!!" ah sudahlah.
Ternyata Tuhan masih begitu menyayangi kami. Meski dengan tangan dan kaki gemetar, saya berhasil membawa motor saya ke tempat yang aman alias kami selamat. Alhamdulillah, ya. Saya berhenti sejenak karena kaki saya gemetar hiks. Sangat menakutkan. Kesimpulannya, tolong jangan coba-coba mengabaikan kondisi kendaraan sebelum bepergian, terlebih jika akan bepergian ke daerah pegunungan.
Endingnya, kami sampai dengan selamat. Sampai di rumah, beli bakso, kelaparan, tenaga habis untuk menahan gejolak kengerian saat berhadapan dengan maut. Tapi di balik semua itu, saya puas, puas sepuas-puasnya. Puas berlaga seperti pendekar, puas naik turun bukit, puas teriak-teriak dan lain-lain deh.
Terima kasih untuk Kaka Soni, Om-om riweuh, Nenk Ina, Ceu Cahya. You're my everything ekekekekekekekekekekek :))
Abis ujan liat pelangi
Lain kali jelong-jelong lagiiiii
Yuk Mariiii ~..~