15 Mei 2020

Welcome Home Anta!

Cek cerita hilangnya Anta DI SINI

Sekitar 2 minggu yang lalu, di malam Jumat yang syahdu, notifikasi HP berdering berkali-kali. Si pecinta kucing rupanya chat nge-ping berkali-kali. Biasanya kalau sudah ping berkali-kali tuh artinya ada yang penting, saking pentingnya, dia cuma ngetik "p" doank sampe berbaris-baris. Kubukalah HP dan kubaca chatnya segera.




Terpampang nyata bukan fatamorgana video singkat Anta Si Kucing Introvert. Sempat gak percaya sampai kutanya berkali-kali apa betul itu anta atau cuma kucing yang mirip anta.

Rupanya itu benar-benar Anta.

ANTA PULANG! ANTA KEMBALI! 

WELCOME HOME ANTA!

Gak usah ditanya lagi senengnya kayak apa kita, kalo boleh teriak sih teriak deh, sayang udah malem, sunyi pula. Langsung kutanya juga apa Anta ada luka atau kucel in the kumel atau apalah gitu. Alahmdulillah sehat cuma agak kurus dikit. Fyi, kenapa doi yakin itu Anta? Anta punya ciri khusus, kupingnya agak pocel dikit, perutnya buncit menggelambir kanan kiri, idungnya ada item-itemnya gitu, matanya agak semi kebiru-biruan macem bule.

Tanpa pikir panjang, keesokan harinya Anta dibawa lagi ke habitatnya, yaitu kantor kita. Keinginan untuk memelihara Anta di rumah kembali diurungkan karena Anta terlihat lebih happy di kampung halamannya. 

Sesampainya di kantor, Anta disambut gegap gempita nora marten. Anta pulang, kami senang. Rencananya mau langsung sukuran, cuma karna lagi puasa jadi nanti aja abis lebaran kita makan-makan. Jangan sedih, emak asuh Anta udah nyiapin cemilan Anta se-boks haha. 



Gak lama setelah Anta ketemu, sempat baca berita ada sekelompok manusia yang tega menginjak-injak anak kucing sampai mati :( Benar atau tidaknya berita itu tetap saja miris, bahkan aku gak berani lihat videonya. Manusia diciptakan lengkap dengan akal sehat hati nurani sedangkan hewan tidak punya akal. Nah ini ada manusia yang udah dikasih akal, dikasih hati, dikasih otak tapi gak dipake, kan sayang, mending dijual deh.

Meskipun ada saja manusia-manusia gendeng kayak gitu, masih ada juga kok yang sayangnya luar baisa sama hewan, khususnya kucing. Baru saja pas sahur tadi aku liat di TV, ada ibuk-ibuk yang punya 300 peliharaan kucing. WAW! suaminya sengaja nyediain rumah khusus buat nampung ratusan kucingnya. Emang ya, ada orang yang sebegitu jahatnya sama kucing tapi ada juga yang sebegitu pedulinya sama kucing. 

Aku bukan pecinta kucing. Ada satu momen yang mungkin itu jadi salah satu penyesalan. Suatu hari waktu aku pulang kerja naik motor, tiba-tiba ada anak kucing di tengah jalan berjalan dengan kaki terseret, mungkin tertabrak pas mau nyebrang. Sumpah ga tega, aku minggir sebentar lalu kuambil kucingnya yang masih ada di tengah jalan lalu kutarok di pinggir jalan. 

Ya ampun saat itu aku gak tau harus ngapain, ga tega liat kucingnya kayak udah susah napas, aku cuma bisa ngelus-elus aja, masih bingung mau ngapain, aku cuma sendiri. Akhirnya ada orang yang bilang tarok disitu aja terus aku pergi. Jahat gak sih aku. berharap abis itu ada yang nolongin, tapi nyesel juga kenapa gak aku bawa aja, sercing dulu dokter hewan dimana atau apa kek huhu maaf ya cing. Nanti-nanti kalau liat kejadian serupa, aku udah harus bisa gercep dan lebih peka dan cepet mikirnya. Emang sih, akutu suka telat mikirnya kalo ada kondisi darurat kayak gitu.

Aku juga punya adik yang sayang banget sama kucing. Tiap pagi dia ngerebus tempe sama tongkol lalu diuyek-uyek buat pakan kucing, belum ditambah snack macem wiskas gitu. Aku gak seniat itu sih hehe.

Tidak semua orang suka hewan, ada yang alergi, takut, pobia atau yang lainnya, tapi setidaksukanya kita sama hewan (terutama kucing) paling tidak tolong jangan disakiti. Kucing juga makhluk Tuhan, dia juga bisa jadi saksi nanti pas amal-amal kita dihisab dan bisa jadi kucing yang kita perlakukan dengan baik itulah yang jadi kunci kita masuk surga. Aminin dong!

Semoga tulisan ini bisa jadi pengingat untuk aku sendiri dan untuk siapapun yang membaca.



Miaw!



8 Mei 2020

SAME AS YOU [CERPEN]

Shelter Trans Metro Bandung Koridor 1.
Aku memandang langit biru yang cerah, membuatku tersenyum karena kulihat matahari juga tengah tersenyum padaku. Sudah tujuh tahun aku mendiami shelter ini. Setiap hari, kulihat lalu lalang kendaraan yang tak ada habisnya, mengeluarkan gas pembakaran yang tak sempurna, membuat orang yang ada dipinggir jalan batuk-batuk atau hanya sekedar menutup mulut dan hidungnya. Banyak juga orang yang lalu lalang, berjalan menyusuri trotoar atau sekedar berdiri di trotoar untuk menunggu bus atau angkot. Kulihat juga anak kecil sedang menjajakan dagangannya, ia menggunakan pakaian lusuh, wajahnya pun terlihat lusuh, aku kasihan melihatnya tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Aku melihat beberapa calon penumpang bus Trans Metro Bandung sedang menunggu di shelter dengan sabar, tentu saja sebelumnya, mereka sudah membeli karcis. Aku melihat mereka yang sedang sibuk dengan urusan masing-masing, sambil menunggu datangnya armada yang akan mereka tumpangi. Kulihat ada yang membaca buku, ada yang ngobrol dengan teman di sebelahnya, ada yang seperti sedang melamun, bahkan ada juga yang ngupil! Mataku langsung jadi sipit begitu melihatnya.
Bus Trans Metro Bandung berjalan perlahan di antara hiruk pikuk kendaraan bermotor menuju shelter, tempat ia biasa berhenti. Bus ini tidak bisa berhenti di sembarang tempat, ia harus berhenti di shelter-shelter yang telah disediakan. Kulihat bus itu sudah ada di shelter koridor 1, tempat aku berdiam saat ini. Semua penumpang yang sedari tadi menunggu dengan sabar, berebut masuk ke bus karena ingin dapat tempat duduk. Bus ini tak terlalu besar, sehingga tak bisa semua penumpang dapat tempat duduk.
Aku terus menundukkan kepalaku sambil tetap duduk di pinggiran trotoar, menanti bus itu pergi dan meninggalkanku. Tiba-tiba aku merasakan hentakan kaki yang berjalan ke arahku, dia berhenti tepat disampingku. Kulihat kakinya kecil dengan sepatu berwarna biru muda, lucu sekali. Aku sedikit menaikkan kepalaku untuk melihat pemilik sepatu lucu itu. Sungguh aku terkejut, aku melihat sosok bertubuh kecil, berambut sebahu berwarna hitam kecoklatan, kulitnya kuning langsat, dan bermata biru. Ia tersenyum padaku.
“Hai Sista.”
Anak perempuan kecil itu memanggilku dengan sebutan sista. Aku membalas senyuman manisnya dengan senyumku yang mengandung keragu-raguan. Siapa anak itu? Anak kecil itu manis sekali. Bahkan kupikir, aku sedang melihat malaikat kecil. Anak itu lalu pergi setelah menyapaku. Ia menaiki bus Trans yang hendak pergi, ia mempersilakan penumpang lain untuk masuk dan ia masuk belakangan.
***
Telingaku mendengar seseorang sedang marah-marah. Aku langsung mencari sumber suara itu. Kulihat seorang bapak paruh baya sedang memarahi anak kecil di depannya, dua anak kecil sedang tertunduk takut karena sedang dimarahi. Mataku melihat salah satu anak kecil itu, aku merasa mengenal sosok itu. Tak salah lagi, dia adalah anak manis yang selama ini kutunggu. Kenapa dia dimarahi? Apa anak kecil itu berbuat salah?
Kulihat anak yang menangis itu pergi, tapi anak misterius itu tetap duduk lalu ia melihat kearahku. Tak kusangka, ternyata dia sadar bahwa aku ada disini. Dia berjalan menuju ke arahku. Hari ini, dia memakai rok terusan selutut berwarna pink, dia terlihat begitu manis. Anak itu menghampiriku dan berjongkok agar mudah melihat wajahku.
“Hai Sista. Apa kabar? Ingin sekali aku bertemu lagi denganmu. Salam kenal.”
Dia bicara denganku!
***
Aku mulai lelah, kututup mataku saking lelahnya menunggu, beberapa saat hanya terdengar suara orang ngobrol dan kendaraan. Aku mencium aroma wangi di dekat hidungku, wangi sekali, seperti aroma lavender. Perlahan, kubuka mataku dan ingin sekali kutahu siapa yang memakai wewangian lavender ini. Rasa kantukku tiba-tiba lenyap ketika sepasang mata biru tengah menatapku dengan senyuman yang muncul dari bibir kecilnya. Sosok yang kutunggu, kini ada tepat dihadapanku.
            “Hai Sista.” Anak itu menyapaku dengan ramah. “Wajahmu terlihat lelah. Ada apa?” Anak itu menampakkan wajah khawatirnya di depanku. Aku hanya menggeleng perlahan sambil tersenyum seraya berkata “Aku tidak apa-apa”.
Anak itu kembali tersenyum. “Sis, besok aku mau piknik bersama teman-temanku. Aku akan datang lagi kesini besok. Tunggu aku ya!” Kata anak itu langsung pergi sambil melambaikan tangannya padaku.
***
Pagi ini memang ada beberapa anak yang mengenakan seragam piknik, T-shirt putih dan celana panjang biru, semuanya seragam. Aku pun tak kalah girangnya dengan anak-anak yang akan pergi piknik itu. Aku yakin anak-anak berseragam piknik itu adalah teman-teman anak manis itu, dia akan datang kemari!
Sorot mataku menangkap sosok yang sudah kutunggu sejak tadi. Aku melihatnya dari kejauhan. Dia sedang berlari kecil menuju shelter ini. Aku menyambutnya dengan senyumku. Seketika aku melihat ada sesuatu di seberang jalan. Aku melihat seorang nenek kesakitan, nenek itu memegangi kakinya. Aku melihat sosok kecil itu berlari menyeberangi jalan, kupikir dia akan menghampiri nenek itu. Di saat yang sama, sebuah bus dengan kecepatan sedang, melaju menghampiri anak kecil itu. Supir bus itu tak sempat mengerem ketika anak itu menyeberang. Tunggu, jangan menyeberang! Aku tak bisa berteriak dan seketika itu......
CKIIIIIIIIIIIIIITTTTTTT!!!!! BRAKK!!!!
Betapa kerasnya suara itu. Suara teriakan orang-orang pun terdengar sangat jelas di telingaku. Tubuhku kaku, gemetar, tak bisa bergerak sedikitpun, melihat apa yang barusan terjadi di depan mataku.
Aku mendekati tubuh kecil itu. Penuh darah. Semua orang mengelilinginya dengan tatapan cemas. Aku ingin melihat wajahnya. Kudekati tubuh itu lebih dekat supaya aku bisa melihat wajah mungilnya. Betapa terkejutnya aku ketika wajah itu terlihat oleh mataku. Itu bukan wajahnya! Yang tertabrak bukan anak itu! Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Jelas-jelas aku melihat anak itu yang menyeberang dan tertabrak bus itu, kenapa tubuh yang tergeletak di jalan ini bukanlah tubuhnya. Aku segera menjauhi kerumunan dan memasang mata, aku yakin sekali kalau anak itu sudah datang dan dia juga yang hendak menolong nenek itu.
Mataku tiba-tiba melotot, melihat sosok yang aku kenal ada di seberang jalan, disamping nenek itu! Tidak mungkin! Bagaimana bisa? Seketika itu, tubuhku merinding hebat, ada apa ini sebenarnya? Kulihat dia sedang memandangi anak yang tertabrak bus itu dengan wajah sedih dan kulihat juga air matanya mengalir. Setelah kuingat-ingat, anak yang tertabrak itu adalah anak yang dimarahi waktu itu. Aku bisa melihat wajah sendu itu, dia begitu sedih melihat temannya terkapar di jalanan bersimbah darah. Tapi...bagaimana dengan yang kulihat tadi? Apa aku hanya salah lihat?
***
Aku mengalami dejavu. Rasanya aku pernah melihat kejadian itu sebelumnya dan di tempat yang sama, tapi kapan? Aku berusaha mengingat semua hingga aku merasa lelah, dan di tengah kelelahanku itu, lagi-lagi sosok kecil itu muncul tepat dihadapanku. Dia memakai rok terusan berwarna putih, mengenakan bando putih di kepalanya dan terasa wangi lavender. Dia menatapku agak serius, mata birunya memancarkan aura kemisteriusannya. Setelah beberapa saat dia menatapku, lalu dia bertanya padaku.
            “Apa sista tahu aku siapa?” Pertanyaan yang keluar dari mulut kecilnya itu membuatku heran. Tentu saja aku tidak tahu siapa dia. Aku hanya menggeleng pelan.
            “Kalau begitu, ayo ikut aku, sis.” Dia mengajakku. Sepertinya aku sudah berganti nama jadi sista hehe. Aku berjalan mengikutinya. Ngomong-ngomong, dia mau mengajakku kemana ya?
Kami sampai di sebuah tempat yang dikelilingi oleh dinding yang tebal dan tinggi. Tempat ini begitu sunyi, hanya suara semilir angin yang menggoyang dedaunan dan rumput-rumput yang tinggi. Anak itu terus berjalan sambil tetap menggandengku, memasuki area di dalam dinding besar itu.
Kami berhenti, tepat di belakang seorang wanita yang sedang duduk di depan sebuah makam. Rasanya aku mengenal wanita itu. Aku memajukan langkahku hingga mendekati wanita itu dan aku tahu siapa dia. Ibu? Aku melihat sosok ibuku yang sedang duduk sambil menundukkan kepala di hadapan sebuah makam, ibuku sedang berdoa lalu menebarkan bunga di makam itu. Aku tahu, itu makamku. Aku baru sekali ini melihat ibu yang menebarkan bunga sambil menangis ketika melihat nisanku berdiri tegak di atas makamku.
Setelah beberapa lama ibu meratapi makamku dengan linangan air matanya, dia berpindah ke makam disebelahnya. Aku mengira, ibu mendatangi makam kakek atau nenek yang memang sudah meninggal. Aku berjalan perlahan ke arah makam di sebelahnya, anak kecil ini masih tetap menggandeng tanganku. Aku terkejut melihat nama yang terukir di nisan itu. ‘Angel’. Angel? Bukankah itu namaku? Tapi, makamku bukan yang itu, makamku ada di sebelahnya dan aku juga melihat ukiran pada nisanku, tertulis ‘Angel’. Aku yakin tak ada saudara atau kerabat yang punya nama yang sama denganku. Jadi, siapa Angel yang yang ada di sebelah makamku itu? Aku berpikir..berpikir dan berpikir...siapa Angel yang satu lagi?
Jantungku serasa tertimpa beban yang begitu berat. Aku kaget. Aku ingat sesuatu. Aku melihat sosok kecil yang ada disampingku, yang sedang menggenggam tanganku. Dia tersenyum padaku dan berkata...
“Aku sama denganmu, sis.”
***
Namaku Angel. Aku tinggal dengan ayah dan ibuku di Kota Bandung, aku hanya anak tunggal dan sejak dulu ingin sekali punya adik. Harapanku terjawab, aku akan punya adik. Aku bisa menggendong seorang adik dan mengajaknya bermain. Aku begitu gembira ketika datangnya hari lahirnya adikku. Aku berlari ketika ayah meneleponku dan menyuruhku datang ke rumah sakit. Aku menyeberang jalan tanpa melihat kanan kiri dan seketika itu, sebuah bus menabrakku tanpa ampun hingga aku tergeletak kaku di tengah jalan bersimbah darah. Aku belum sempat melihat adikku. Tubuhku tergeletak tepat di depan shelter itu.
Adikku bernama Angel, nama yang sama denganku. Tujuh tahun setelah aku pergi, adikku tertabrak bus di depan shelter, tempat yang sama ketika aku mengantar nyawaku. Rupanya, adikku yang ada di seberang shelter, seperti melihatku, wajah yang sama ketika adikku melihatku lewat foto, lalu dia berlari menyeberang jalan tanpa lihat kanan kiri, sama seperti saat aku begitu semangat menyambut adik baruku. Oh Tuhan, jadi akulah yang membuat adikku celaka, akulah yang membuat adikku jadi sama denganku, akulah yang menyebabkan adikku meninggal.
Masih bisakah aku menangis...
Tapi sekarang, adikku ada di sampingku...dia ikut denganku...

SELESAI

6 Mei 2020

Neira yang Kutakuti [CERPEN]

Sorot matanya begitu tajam. Tak henti-hentinya ia menatapku dengan tatapan sinis, namun kosong. Aku berdiri tepat dihadapannya. Sebuah dinding dengan sedikit celah berjeruji besi menjadi pembatas dunia kami. Dunianya dan duniaku. Tubuhku gemetar, perasaan takut dan cemas menjadi satu. Satu-satunya yang membuatku takut, hanyalah sorot matanya. Aku mundur perlahan, menjauh dari pintu besi berwarna putih itu. Bahkan saat aku sudah menjauh pun, aku masih bisa melihat matanya yang terlihat merah menyala bagaikan serigala yang tengah melihat mangsanya.
 “Kamu kenapa? Wajahmu pucat sekali.” Seorang perawat menghampiriku yang masih terpaku, tak jauh dari pintu besi itu.
“Ah, tidak apa-apa, sus.” Kataku pelan. Aku pun melewati suster itu dan beranjak keluar.
***
Aku berjalan pelan meninggalkan RSJ (Rumah Sakit Jiwa) kembang Mekar, menyusuri jalan raya yang ramai oleh kendaraan bermotor. Aku melihat sebuah poster film horor yang sedang tayang, berjudul “Dia Ada di Depanmu”. Bulu kudukku bergidik, tubuhku kembali gemetar, dan pikiranku kembali pada sorot mata gadis remaja yang terkurung dalam ruangan isolasi besi itu.Gadis itu seolah ada di hadapanku.
Aku pun berlari sekuat tenaga. Rasa takut menyelimuti hatiku. Aku ingin segera sampai ke rumah dan berlindung di bawah selimut.
“Rei!!” Elsa, sepupuku berteriak memanggilku yang lari terbirit-birit menuju kamarku.
“Kamu kenapa? Seperti habis dikejar anjing saja.” Elsa menghampiriku dan duduk di tempat tidurku, tepat di sampingku.
“Neira itu setan!!” kataku histeris.
“Maksudmu apa?? Dia itu adikmu!” bantah Elsa mencoba menerka pernyataanku.
“Pokoknya, aku nggak mau datang ke sana lagi titik!” bentakku kesal.
***
Reina. Itu namaku. Bisa dibilang, aku anak sebatang kara. Orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis di sebuah hutan saat kami berlibur ke Swiss. Neira adalah satu-satunya keluarga yang aku punya. Neira adalah adik yang sangat kusayangi. Ya, awalnya seperti itu. Sampai akhirnya peristiwa tragis itu terjadi.
***
Aku duduk termenung memandangi layar hitam laptopku. Kutekan tombol power laptop dan warna kelam laptopku berubah menjadi cahaya berwarna yang sekaligus mengubah sedikit warna hatiku.  Perasaan takut masih menyelimutiku sejak aku menjenguk Neira, adikku. Aku tak menganggap Neira gila. Aku tahu, Neira depresi.
Aku mulai membuka browser dan mengetikkan sesuatu di halaman search engine. Muncul banyak berita yang berkaitan dengan apa yang kuketikkan di kolom pencarian. Aku meng-klik salah satu berita dan betapa terkejutnya aku saat melihat apa yang baru saja tampil di depan mataku.
Foto-foto tragis saat kecelakaan di hutan Swiss tergambar jelas di situs tersebut. Darah berceceran, terlihat pula beberapa potongan tubuh yang tercabik oleh sesuatu yang ganas. Otakku tak lagi menangkap apapun selain gambar mengerikan tersebut, sampai pada gambar terakhir yang kulihat. Wajah penuh darah dengan ekspresi yang sungguh tak pernah kubayangkan dan tak ingin kulihat sebelumnya.
“TIDAAAAAAAAAAAAAAAKKKK!!!!!”
Mungkin teriakanku mampu memecahkan jendela kamarku. Aku berlari keluar kamar dengan keringat dingin mengucur deras dari seluruh tubuhku. Sungguh aku tak sanggup berkata-kata. Semua yang terjadi hari ini, sungguh mengganggu pikiranku. Aku menghampiri Elsa yang sudah ada di hadapanku karena mendengar teriakanku, aku pun langsung memeluknya dengan tubuhku yang masih gemetaran.
“Rei! Kau kenapa?” Elsa ikut panik melihat kondisiku yang sangat mengkhawatirkan.
Belum sempat aku menjawab, tubuhku serasa melayang dan akhirnya jatuh bebas di pelukan Elsa.
“REEEI!!”
***
Aku membuka mata secara perlahan. Bau khas rumah sakit begitu jelas tercium lewat hidungku. Selang infus telah tertancap di pergelangan tanganku. Aku melihat sekeliling ruangan. Serba putih. Mataku belum begitu jelas menangkap semua yang ada di ruangan. Namun, mataku terbelalak ketika melihat sorotan mata yang begitu kukenal di luar jendela. Secara reflek, aku mencoba bangun dengan tenaga yang ada. Saking paniknya, aku pun terjatuh dari tempat tidur.
“Toloooooong...” teriakku gemetar.
Seseorang membuka pintu. Elsa kaget melihatku tengah terbaring di lantai dengan wajah ketakutan.
“Rei! Ada apa??” Elsa membantuku bangun dan kembali berbaring di tempat tidur. Aku masih sangat ketakutan dan terus melihat ke arah jendela. Bayangan menakutkan itu sudah tak ada, yang ada hanyalah lambaian tirai jendela.
“A, aku melihat setan itu, kak.” Rasanya mulutku sulit untuk mengeluarkan kata-kata.
“Setan apa??”
“Neira!!”
“Apa maksudmu?? Neira itu sedang di rumah sakit! jangan ngaco kamu!”
“Itu rumah sakit setan! Bukan rumah sakit jiwa!”
Elsa memandangku dengan penuh rasa heran. Elsa keluar dari kamarku, lalu kembali bersama suster yang kemudian memberiku obat. Tak lama kemudian, aku tertidur.
***
“Kak Rei, apa hutan ini aman? Yakin, tak ada binatang buas?”
“Aman kok, Nei. Tenang saja.”
“Kak, ayo kembali ke tempat papa mama. Perasaanku tak enak.”
“Kamu tenang saja, sebentar lagi, kita dapat ikan, nih!”
Beberapa saat kemudian, terdengar teriakan dari kejauhan.
“AAAAAAAAAAAHHHHHH!!!!”
“PAPA!!MAMA!!”
***
“PAPAAA..MAMAAA..!!!”
Aku terbangun dari tidur panjangku karena pengaruh obat bius yang diberikan suster padaku. Mimpi buruk itu kembali.
“REI..!” Elsa mencoba mengguncang-guncangkan pundakku. “Kamu mimpi buruk?”
Aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk bisa berpikir secara normal. Namun, mataku langsung menangkap sosok yang telah kuanggap setan. Neira. Aku melihatnya tengah menatapku dengan sorot matanya yang begitu tajam, seakan penuh dendam. Kulihat Neira berdiri di sudut ruangan dengan........sungguh aku ingin sekali menangis kala melihat kondisinya dan tak sanggup berkata-kata. Wajah penuh darah dengan tangan tercabik hingga putus.
“TIDAAAKKK...KELUAARR KAAUUU!!” Aku berteriak sekeras mungkin sambil menutup wajahku dengan kedua tanganku. Tubuhku kian gemetar karena munculnya sosok itu.
“REI!! Kau ini kenapa?? Sadarlah!” Elsa menahan kedua lenganku yang terus gemetar. Sementara keringat dingin pun mengucur dari tubuhku.
“Setan itu ada di sana! Neira ada di sana!” Aku menunjuk sudut ruangan, tepat di belakang Elsa. Elsa pun menengok ke belakang dan ternyata tidak ada apapun kecuali meja dengan vas bunga di atasnya.
“Kau pasti sedang berhalusinasi. Tidak ada siapa-siapa di sini. Lagipula, Neira juga ada di rumah sakit. Tak mungkin dia di sini. Sebaiknya kau istirahat.” Elsa menidurkanku dan mennutup tubuhku dengan selimut putih.
“Neira pasti dendam padaku. Gara-gara aku, papa mama meninggal secara tragis. Itu semua salahku.” Aku mencoba bersikap tenang, meskipun batinku berteriak memaki diriku sendiri. Betapa bodohnya aku yang tak pernah bisa membaca situasi.
“Berhentilah menyalahkan diri sendiri. Neira sama sekali tak dendam padamu. Neira memang belum bisa menerima semua ini. Bersabarlah.”
***
Aku dirawat di rumah sakit selama seminggu. Kondisiku selalu naik turun. Selama seminggu pula, Neira selalu datang. Entah itu hanya halusinasiku saja atau memang arwah Neira yang gentayangan. Tunggu. Neira, kan, belum mati. Aku tak mengerti, apa yang terjadi padaku. Neira itu adikku. Tak sepantasnya kusebut dia setan. Tapi, aku lelah. Bayangan Neira selalu mengikutiku. Bayangan mengerikan itu selalu menghantuiku. Aku harus bagaimana.
Kedatangan Elsa membuyarkan lamunanku.
“Rei, aku mau ke rumah sakit dulu. Kamu mau ikut?” ajak Elsa yang sudah siap sedia, hendak pergi ke rumah sakit.
“Tidak.” Jawabku singkat. Aku tahu bahwa kehadiranku tak akan membuat Neira membaik.
Elsa mengangguk pelan, tandanya, ia mengerti akan keputusanku. Akan lebih baik, jika aku diam di rumah, mencoba memahami perasaanku dan juga perasaan Neira.
Aku melihat Elsa keluar rumah dan kini aku sendiri, meratapi nasib burukku karena dibayang-bayangi rasa bersalah. Aku tahu, aku salah. Saat itu, aku yang mengajak  Papa, Mama, dan juga Neira untuk berlibur ke Swiss. Aku juga yang mengajak mereka untuk camping di hutan Swiss. Aku juga yang mengajak Neira memancing ikan dan meninggalkan Papa dan Mama. Padahal, aku tahu, ada beberapa kejadian tentang seseorang yang diserang binatang buas. Dan bodohnya, aku tak peduli. Aku merasa situasi aman dan tak mungkin ada binatang buas.
Kebodohanku terbukti saat mendengar teriakan Mama. Aku dan Neira berlari menghampiri sumber teriakan itu. Betapa terkejutnya aku, Papa diserang seekor beruang.
DUK DUK DUK
Hentakan kaki yang begitu cepat itu membuyarkan lamunanku.
“REEEEEEII....!!!”
Elsa berteriak memanggilku. Dalam beberapa detik, Elsa sudah ada di hadapanku. Elsa terlihat begitu gelisah, tampak dari wajahnya yang penuh keringat dan raut wajahnya yang menunjukkan kesedihan yang begitu dalam. Ah, aku sok tahu.
“Ada apa?” tanyaku datar.
“Neiraa...” Elsa memotong kalimatnya sembari mengatur nafasnya.
“Ada apa dengan Neira?”
“Neira Meninggal!!!”
***
“Waktu aku datang ke rumah sakit, para suster dan dokter berkumpul di ruangan isolasi, tempat Neira dirawat. Aku pun segera melihat apa yang terjadi di sana. Betapa kagetnya aku melihat Neira terkapar bersimbah darah dengan perban di tangannya yang sudah terbuka. Lalu......”
“CUKUP!!” aku memotong kalimat Elsa. Aku tak mau dengar. Aku juga tak mau Elsa melanjutkan kalimat-kalimat mengerikan itu.
Aku terduduk lemas di depan pusara Neira, adikku. Air mataku mengalir perlahan, kesedihanku semakin memuncak kala melihat kembali makam Papa dan Mama. Kini mereka telah bersama kembali. Mengapa aku ditinggal sendiri? Mengapa kalian meninggalkanku sendiri? Batinku berteriak. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak kuasa menahan derita ini seorang diri.
Elsa mencoba menenangkanku. Elsa memelukku erat. Aku tak bisa berkata-kata. Hanya air matalah yang bisa kukeluarkan. Baru beberapa bulan, aku kehilangan orang tua. Sekarang aku kehilangan saudara kandungku satu-satunya.
***
“Sudah kubilang, bayangan mengerikan yang selalu datang menghantuiku itu benar-benar Neira!” kataku meyakinkan Elsa. Selama ini, Elsa hanya mengira aku berhalusinasi atau terlalu menyalahkan diri sendiri.
“Entahlah.” Tanggap Elsa singkat.
Aku dan Elsa terdiam sejenak. Kami diam dalam dunia kami masing-masing. Aku beranjak dari kursi, lalu keluar kamar untuk sekedar mencari udara segar. Kepalaku penuh dengan bayangan Neira. Aku berpikir, Neira masih dendam padaku, dan aku pun belum sempat berkata apa pun sampai Neira meninggal.
Aku duduk di bangku taman. Tak ada seorang pun di taman itu kecuali aku. Taman itu terlihat tak terurus. Beberapa tanaman mati dan kebanyakan tak terawat. Aku memejamkan mata sejenak, memikirkan apa yang selama ini terjadi.
Beberapa saat, aku merasakan angin berhembus lebih kencang. Aku membuka mata perlahan dan aku melihat tanaman di sekelilingku tersapu angin. Sampah-sampah beterbangan, pohon-pohon seakan nyaris tercabut.
“Ada apa ini?” tanyaku panik. Aku pun merasa sulit bergerak karena kencangnya angin.
Tiba-tiba, aku melihat seseorang berdiri di ujung taman. Aku tak bisa melihat dengan jelas. Aku berusaha untuk melihat, siapa gerangan orang yang ada di hadapanku ini. Samar-samar, aku mulai bisa melihatnya. Dan aku pun terkejut. Dia memakai pakaian yang sobek di sana-sini, rambut panjang terurai, dan.....tangannya buntung.
“Ne, Neira?” aku berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa yang kulihat itu adalah Neira, adikku.
“Neira? Apa itu kau?” tanyaku pada sosok di depanku yang tetap berdiri tegap.
Sosok itu pun menghilang. Aku berusaha mencari. Aku mengelilingi taman, melihat sekeliling sambil tetap berusaha melawan angin. Namun, beberapa saat kemudian, angin pun kembali seperti semula.
“Pembunuh!”
Suara itu kudengar dengan sangat jelas. Satu kata, “pembunuh”, begitu jelas menancap di telingaku. Sakit sekali rasanya.
“Aku bukan pembunuh! Neira! Dengarkan aku!” aku memanggilnya, ingin bicara dengannya.
“Kau yang membunuh papa dan mama, dan kau juga yang membunuhku. Kau membuatku kehilangan tangan!” suara gaib itu semakin jelas terdengar.
Tubuhku gemetaran, bibirku kelu, tak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba, sosok Neira muncul tepat di hadapanku dengan kondisi yang sungguh menyedihkan. Aku melihat dengan jelas, perban di tangan kanannya terbuka dengan darah menetes. Aku tidak tahu harus bilang apa, entah tangan atau bekas tangan karena memang tangan kanannya sudah tak ada.
Aku tak bisa berpikir jernih lagi. Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi.
***
Aku berdiri di pinggir danau yang berada di tengah hutan. Ya, aku berada di tengah hutan Swiss, tempat kejadian perkara. Perkara terbunuhnya orang tuaku dan terlukanya adikku oleh seekor beruang. Lalu, untuk apa aku ke sini?
Air mataku mengalir. Aku merasa sendiri. Menanggung seluruh beban ini seorang diri. Beberapa saat, aku terus larut dalam kesedihan. Memandang aliran sungai yang tak terlalu deras dengan ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari. Aku melihat wajahku yang terpantul di sungai. Menyedihkan.
Air mataku berhenti mengalir dan raut wajahku berubah setelah melihat bayangan besar yang ada dibelakangku, yang terlihat dari air sungai. Sontak, aku menengok ke belakang dan rasanya, jantungku nyaris lepas. Seekor beruang besar berdiri di hadapanku dengan gigi-giginya yang tajam, siap menerkam apa saja yang ada di depannya, termasuk aku. Tubuhku kaku, tak berani melangkah mundur, apalagi maju. Aku berpikir, inilah saatnya aku melunasi hutangku. Hutang kematian papa, mama dan juga Neira. Tapi....
Kakiku melangkah mundur secara otomatis. Aku takut. Beruang itu pasti sudah sangat siap untuk menjadikanku makan malam. Sosok makhluk lain pun muncul. Neira kembali dan tepat berada di belakang beruang itu. Entah aku harus takut atau senang. Aku pun tak tahu, Neira akan berbuat apa. Menolongku atau sebaliknya.
Beruang itu berbalik, seolah Neira memanggilnya. Neira menatapku dengan tatapan yang begitu tajam, kemudian Neira menatap beruang itu. Aku berpikir, Neira sedang berbicara dengan si beruang. Entah apa yang terjadi, tapi beruang itu pergi. Sulit dipercaya!
Neira kembali menatapku. Kali ini bukan tatapan tajam, tapi jauh lebih lembut. Dua bayangan muncul di balik pepohonan rindang. Dan aku sangat mengenal sosok itu.
“Papa, Mama.” Kataku dengan suara bergetar.
Papa, Mama dan Neira yang mengenakan pakaian serba putih, menatapku sambil tersenyum. Mereka tak bicara apa pun, tapi aku mendengar suara mereka.
“Reina, anakku. Teruslah hidup untuk kami.” Papa tersenyum padaku.
“Reina, anakku. Jangan lagi menyalahkan dirimu sendiri.” kata mama padaku.
“Aku sudah tak marah lagi padamu, kak.” Neira pun akhirnya memberikan senyum pertamanya sejak peristiwa itu.
Dan bayangan mereka pun hilang. Aku berlutut dan mengeluarkan segala emosiku yang tertahan.
“AKU INGIN IKUT KALIAAAAAAAANN!!!”

SELESAI



4 Mei 2020

PANCA INDRA AZURA [CERPEN]

“Azura Rosi Chavi”
Begitulah ketika seorang cewek kulit putih, rambut panjang diikat satu ke belakang, blesteran Indo-Inggris menuliskan namanya di papan tulis. SMA Kartika menjadi sekolah barunya di Indonesia setelah menghabiskan masa kecilnya di Inggris. Dia tak bicara apapun setelah menuliskan namanya, ia langsung duduk di bangku kosong, di sebelah Arina, cewek asli Indonesia, berambut sebahu dan matanya agak sipit.
SMA Kartika termasuk salah satu sekolah swasta elit di Bandung dan bisa dipastikan bahwa penghuni sekolah ini bukan dari kalangan orang biasa, tapi LUAR BIASA, dalam arti kantongnya tebel dan otaknya juga terisi. Sekolah elit ini memiliki sistem pembelajaran yang sudah berbasis multimedia sehingga makin tampak berkelas. Setiap siswa tak lagi memakai buku, tapi diberikan jatah satu netbook sebagai alat penunjang belajar. Papan tulis pun hanya sebagai hiasan semata, kurang lengkap kalau kelas tanpa adanya papan tulis dan jangan ditanya biaya SPPnya, MAHAL!.
Saat istirahat hampir semua murid mengunjungi kantin Kartika, tempatnya nyaman dan menunya pun gak kalah dengan menu restoran, jangan ditanya juga soal harga. Di dalam kelas hanya ada Arina dan Azura yang tetap duduk manis.
“My name is Arina, and you?” Sapa Arina seraya memberikan tangannya ingin bersalaman. Arina mengira Azura tak  bisa bahasa Indonesia karena dia lahir dan besar di Inggris.
Azura tetap diam sambil terus mengetik. Sepertinya ia mengetikkan sesuatu di netbook-nya untuk Arina.
Bukankah aku sudah menuliskan namaku di papan tulis. Kamu buta ya??
Tulisan di netbook Azura sontak membuat Arina kaget dan serba salah karena sudah menanyakan namanya. Ia hanya ingin mendengar suaranya karena sejak dia datang, dia tak sedikit pun mengeluarkan suaranya.
“Ng..maaf, kalau begitu aku ke kantin ya. Nice to meet you.” Arina beranjak sambil melambaikan tangan tapi Azura tetap diam membisu sambil terus mengetik-ngetik sesuatu di netbook-nya.
Benarkah mata untuk melihat dan mulut untuk berbicara?
Apa yang seharusnya dilihat oleh mata dan dikatakan oleh mulut?
Kenapa aku hanya melihat dan mengatakan kebohongan?   -Azura-
Azura terus-terusan menatap layar netbook-nya dengan sangat serius sambil sesekali menampakan kesedihan di wajahnya. Waktu istirahat pun habis dan Azura masih setia duduk manis hingga semua teman-temannya datang. Sang guru pun masuk kelas dengan membawa buku-buku tebal dan pelajaran Biologi pun dimulai.
“Tolong jelaskan apa yang kalian tahu tentang Panca Indra?” Tanya Bu Reina, guru Biologi lulusan UGM. Ibu Reina memang sering mengajukan pertanyaan sederhana di awal pelajaran, katanya untuk pemanasan. Hampir semua murid mengacungkan tangan, tapi sepertinya Ibu Reina tertarik untuk menunjuk seseorang yang sedari tadi asik dengan netbook-nya.
“Azura Rosi Chavi!” Panggil Ibu Reina yang sudah mengetahui tentang anak baru di kelas ini. “Stand up please...and...what do you think about the five senses?” Ibu Reina mengajukan pertanyaan, tanpa tahu kalau Azura bisa berbahasa Indonesia. Mungkin nama dan orangnya yang tak terlihat seperti orang Indonesia, jadi tanpa sadar Ibu Reina mengajaknya berbicara dalam Bahasa Inggris.
Azura langsung berdiri tapi tak langsung menjawab pertanyaan Ibu Reina, dia maju ke depan kelas, mendekati laptop yang ada di atas meja guru dan mulai mengetik-ngetik sesuatu. Azura membuka notepad dan mulai mengetikkan satu kalimat. Apa yang diketik Azura dapat dilihat pada layar LCD karena laptop guru sudah tersambung ke LCD. Semua murid termasuk Ibu Reina hanya bisa bengong tanpa kata dan penasaran apa yang akan diketikkan oleh Azura.
Panca indra, khususnya MATA dan LIDAH, cuma bisa menghasilkan KEBOHONGAN saja!!!
Satu kalimat! Cukup membuat semua terdiam tanpa kata, tanpa ucapan, tanpa sanggahan, bahkan Ibu Reina masih menatap satu kalimat itu dengan seksama, sementara murid lain memandangi Azura yang langsung kembali ke tempat duduknya dengan pandangan aneh bin ajaib. Setelah duduk, Azura kembali ke rutinitas awalnya, berkutat dengan netbook kesayangannya. Azura tidak menerima jatah netbook dari sekolah, dia memilih membawa sendiri netbook-nya. Kembali ia serius menatapi layar netbook-nya dan sibuk mengetik dengan terus menampakkan wajah inocent-nya. Teman-temannya pun baru tahu kalau Azura bisa Bahasa Indonesia.
Satu kejadian unik di kelas 1-A, cukup mudah untuk menjadi unik di seluruh kelas. Tiga puluh mulut kelas 1-A akan mudah menyebarkan isu ataupun gosip ke seluruh pelosok sekolah, termasuk kantin bahkan toilet. Nama Azura pun melejit bak selebritis dadakan yang akhir-akhir ini banyak muncul di TV gara-gara video lipsink di Youtube. Azura tetap cuek dan masa bodo, dia tetap meluruskan pandangan pada satu titik di layar benda kesayangannya. Arina dan teman-teman sekelasnya sempat penasaran dengan makhluk unik ini.
“Hei Azura!” Panggil Neva, teman sekelas Azura. “Dikirain cuma bisa Bahasa Inggris, gak taunya bisa bahasa Indo juga to?ngomong atuh dari tadi.” Kata Neva dengan logat sunda khasnya. Azura tetap diam membisu, membuat Neva agak geram. “HEI! Aku gak lagi ngomong ama patung kan??” Gertak Neva, Azura masih tetap anteng. “Tunggu...tunggu...jangan-jangan.....” Neva berpikir sejenak. “Dia ini bisu!!” Terka Neva sambil melirik ke arah Azura. “Iya gak sih? Sejak dia masuk kelas pertama kali, dia emang gak pernah buka suara seucrit pun kan?brati dia bi-su!” Celoteh Neva. Arina sempat kesal, rasanya tak perlu berkata seperti itu di depan teman-teman sekelas.
Azura hanya menatap Neva beberapa detik, setelah itu kembali mengutak-ngatik “si kecil” yang selalu nempel di atas meja. Neva makin geram tapi tak berniat melanjutkan ocehannya, Neva berpikir kalau Azura memang bisu dan tak berniat mengajaknya ngobrol lagi, ia melengos meninggalkan Azura dan pergi bersama teman-teman satu gengnya. Neva memang memiliki pribadi judes dan sangat pilih-pilih teman.
Azura tak selalu lengket dengan netbook-nya. Sesekali dia berjalan ke luar kelas, tentu saja setelah menyimpan netbook-nya di loker lalu menguncinya agar tak ada tangan jahil yang menyentuh “si kecil”. Namun, Azura bukan keluar kelas untuk makan atau paling tidak ke toilet, dia hanya berdiri dan bersandar di dinding kelas atau melihat suasana ramai sekolah saat istirahat. Arina suka mengikutinya diam-diam, ingin tahu atau lebih tepatnya penasaran. Hasilnya, Arina hanya melihatnya sering berdiri dengan tatapan kosong, seperti orang bingung atau nyaris kesurupan! Setiap hari, Arina menyempatkan diri menguntit Azura yang makin sering keluar, biasanya dia tak pernah keluar kelas dan selalu nempel dengan “si kecil”. Beberapa kali wajah Arina terlihat bingung atau kaget melihat tingkah Azura.
***
Pelajaran Matematika..
Ibu Santi menuliskan satu soal Matematika di papan tulis. Rupanya papan tulisnya masih berguna, gak cuma sebagai hiasan.Soalnya cuma satu dan sangat singkat tapi cukup membuat tiga puluh pasang mata sontak melotot, bingung, soal apa itu? Ibu Santi memang sangat terkenal dengan soal singkat mematikan buatannya.Ibu Santi memberikan sebuah soal tantangan, jika ada yang bisa menjawab soal singkat ini dengan benar, maka dia tak perlu ikut ulangan harian atau ujian semester. Hadiah yang ditawarkan memang sangat menggiurkan tapi memang sangat sebanding dengan soal yang ditawarkan. Semua siswa sibuk kasak kusuk dengan teman sebelah atau teman di belakangnya. Hanya selang beberapa detik dan di tengah kasak kusuk siswa berdikusi tentang soal tantangan itu, Azura dengan santainya maju dan mengambil spidol lalu sibuk menuliskan angka-angka gak jelas di papan tulis. Semua murid bengong tak percaya, tapi Ibu Santi serius menatap jawaban yang dituliskan Azura tanpa berkata sepatah kata pun.
Kurang dari lima menit, Azura selesai menuliskan jawaban dari soal tantangan itu. Sontak semua terperangah ketika Ibu Santi mengangguk pelan sambil tersenyum setelah melihat dengan seksama jawaban Azura. “Bagus Azura, nilai Matematikamu A!” Kata Ibu Santi tegas dan pasti. Satu huruf, “A”, telah membuat semua murid kelas 1-A kaget plus iri berat dengan Azura. Neva, memasang tampang geram dan pastinya menyimpan dendam, tapi sebenarnya apa salah Azura ya?
“Gue gak akan ngebahas soal sifat sok pinter lo itu!” Neva mulai ngebentak Azura tanpa ampun. “Gue cuma mau lo ngomong barang satuuu huruf aja!” Pinta Neva aneh. “BISA GAK???” Neva mulai meninggikan suaranya. Azura tetap santai sambil menuliskan sesuatu di selembar kertas kuarto lalu diperlihatkan pada Neva.
Mata Neva terbelalak ketika melihat isi dari kertas kuarto yang diperlihatkan oleh Azura. Hanya tertulis satu huruf, “A”, yang ditulisnya dengan ukuran hampir memenuhi kertas. Emosi Neva memuncak melihat tingkah Azura yang dianggapnya meremehkan dirinya.
“HEH!!GUE BUKAN NYURUH LO NULIS!TAPI NGOOOMONG!!BENERAN BISU YA LO??!!” Teriak Neva marah, terlihat dari wajah putihya yang berubah jadi merah. Azura sama sekali tak bergeming, sementara yang lain malah cengar-cengir karena ulah Azura yang udah jelas-jelas bakal bikin Neva turun derajat! Kali ini Arina turun tangan.
“Neva!Udah!!” Lerai Arina sembari melototin Neva. “Kamu gak bisa seenaknya ngomong begitu ke Azura! Azura punya HAK untuk ngomong atau nggak!Yang penting dia gak bikin ulah disini, lagipula dia emang pinter dan itu gak dibuat-buat atau sok!” Bela Arina dengan mata penuh permusuhan, dia tidak terima teman sebangkunya dipermalukan. Tapi untuk kali ini, Nevalah yang sudah dipermalukan karena ulanya sendiri.
Neva tidak membalas ucapan Arina dan pergi meninggalkan mereka beserta antek-anteknya. Azura sempat melirik Arina dengan tatapan heran. Dia mengira kalau teman sebangkunya ini kalem, adem ayem, kayak ayam mau betelor. Gak disangka-sangka, dia bisa membela Azura dan membalas kata-kata pedas Neva tanpa takut-takut, tapi gak ada yang tahu kalau di hatinya sebenarnya sangat takut.
***
Pelajaran Bahasa Inggris....
Bapak Ronald, guru Bahasa Inggris berdarah Australia, lulusan Oxford. Pak Ronald begitu disukai murid-muridnya hanya karena satu kata, “darling” dan juga wajah gantengnya. Pak Ronald sering menyebut murid-muridnya dengan sebutan “darling”, tentu saja membuat para murid putri serasa melayang di atas awan, jangan ditanya kalau murid cowoknya, asli merinding! Siang ini, Pak Ronald hendak memulai pelajaran dengan bercerita panjang lebar, tentu saja dengan Bahasa Inggris, setelah itu, baru dimulai ke pelajaran inti.
Belum sempat Pak Ronald berkata sepatah kata untuk memulai pelajaran, tiba-tiba Azura maju ke depan, berhenti di depan Pak Ronald lalu membungkukkan sedikit badannya tanda berpamitan, namun tanpa kata, dengan santai, Azura keluar kelas. Para murid hanya mematung, diam, heran, gak ngerti! Pak Ronald pun tak sempat berkata karena Azura langsung melengos keluar tanpa kata pula! Dengan sigap, Arina berdiri.
“Maaf pak, saya rasa Azura punya alasan khusus, saya yakin dia tak perlu lagi belajar Bahasa Inggris.” Jelas Arina yang bermaksud membela Azura.
“Saya mengerti dan mencoba menerima pembelaanmu Miss.Arina tapi...” Pak Ronald siaga 45. “Walaupun Azura itu asli Inggris, bukan berarti dia pintar Bahasa Inggris, dalam arti bukan pintar berbicara tapi pintar dalam mengenal segala seluk beluk tentang Bahasa Inggris. Kalian yang tak berdarah campuran pun tetap belajar Bahasa Indonesia kan?” Terang Pak Ronald dengan sikap bijaknya membuat semua murid tertegun dan lambat-lambat menerima penjelasan Pak Ronald, rupanya Pak Ronald ini sudah lancar Bahasa Indonesia. “Tidak apa-apa, ini bukan salahmu Miss.Arina, saya mengerti kondisi psikologis Miss.Azura saat ini. Mari kita lanjutkan pelajaran.”Arina hanya mengangguk pelan sambil menatap ke luar jendela.
Setelah Azura kembali, tak ada seorang pun yang mau atau berani mengajaknya ngobrol atau paling tidak bertanya. Arina pun hanya bisa menatapnya dengan beribu tanda tanya di kepalanya. Sedangkan Azura, tetap dengan kesehariannya, sibuk ngetik-ngetik di netbook-nya tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Arina tak lagi bisa diam, dia begitu penasaran dengan pribadi Azura. Sekitar sebulan, Azura tak berbicara sama sekali, Arina tidak yakin jika Azura bisu. Akhirnya Arina memberanikan diri untuk bicara dengan Azura setelah semua murid pulang. Tinggal Azura yang masih setia di tempat duduknya. Arina sudah hafal dengan kebiasaan Azura yang tak langsung pulang, melainkan diam sejenak di bangkunya selama beberapa saat.
“Maaf sebelumnya, kamu sebenarnya tidak bisu kan, Azura?” Arina memulai dengan pertanyaan yang langsung menuju pokok permasalahan. Azura hanya menatap Arina sebentar lalu beralih lagi. “Aku pernah melihatmu sedang menelepon diam-diam saat semua murid sudah pulang. Bagaimana mungkin orang Tuna Wicara bisa menelepon tanpa bicara walaupun seandainya kamu pake bahasa isyarat. Kulihat, HPmu juga bukan model 3G. Kamu juga gak pernah kulihat menggunakan bahasa isyarat di depan orang seperti penyanda Tuna Wicara pada umumnya.” Arina terus memberikan pendapatnya sambil terus menatap Azura. “Aku tidak tahu apa kamu pura-pura bisu atau tidak, aku rasa itu bukan urusanku. Aku cuma ingin kamu percaya padaku dan bersedia menceritakan apa pun yang ingin kamu curahkan. Aku yakin kamu butuh teman.” Arina terus bicara sambil tetap menampakkan senyum di wajahnya. “Dan satu lagi...” Arina sedikit menghela nafas. “kenapa Netbook-mu pake huruf braille dan bukan QWERTY seperti pada umumnya?kamu kan tidak buta?Aku lihat kamu begitu lancar menggunakan keyboard braille itu, bahkan lebih lancar dibanding orang yang menggunakan keyboard QWERTY.”
Azura tetap diam, tapi kemudian dia membuka tasnya, mengambil sesuatu dari dalam tasnya, sebuah amplop berwarna biru. Azura memberikan amplop itu pada Arina. Arina menerimanya dengan tampang bingung. Lalu Azura berdiri diikuti dengan Arina, Azura memberikan senyum pada Arina. Senyum pertama yang diberikan pada seseorang selama dia sekolah di SMA Kartika. Sangat bisa ditebak, Arina begitu senang dan kembali membalas senyumnya, tapi kemudian, Azura langsung mengambil tasnya dan pergi meninggalkan Arina dalam tawa.
Arina begitu penasaran dengan isi suratnya. Dia buru-buru pulang untuk segera membaca surat dari teman sebangkunya itu. Pelan-pelan dibuka amplop biru nan cantik itu lalu mengambil kertas di dalamnya yang juga berwarna biru.
Dear Arina
Aku menulis surat ini karena sudah menduga suatu hari pasti kamu bakal banyak bertanya padaku. Namaku Azura Rosi Chavi, lahir dan besar di Inggris. Aku memang bisa Bahasa Indonesia karena ibuku orang Bandung dan sejak kecil, aku diajari 2 bahasa sekaligus.
Aku memang tidak bisu....aku bisa bicara....
Aku memang sengaja tak bicara karena aku tak mau mengeluarkan segala kebohongan lagi.
Kamu pasti bingung....
Mataku ini selalu melihat kebohongan, melihat tingkah polah orang tuaku yang begitu gemar selingkuh. Kupikir itu sudah menjadi hobi bahkan kebiasaan. Dan lidahku ini serasa sering merasa pahit setiap mengatakan sesuatu yang bersifat kebohongan, selalu berbohong ketika harus menyembunyikan perselingkuhan papa dan mamaku. Selalu berbohong ketika kakak perempuanku meminta aku mengatakan pada mama dan papa, bahwa dia anak baik dan pintar, padahal, kakak hobi clubbing dan minum minuman keras, belum lagi pergaulannya yang bebas. Apa kamu pikir aku tidak tersiksa melihat tingkah laku ortu dan kakakku?? Belum lagi telingaku yang jarang mendengar kebenaran, selalu saja kebohongan, bohong kalau papa sibuk kerja padahal lagi jalan sama pacar gelapnya. Bohong kalau mama sibuk meeting padahal lagi asik sama selingkuhannya dan bohong kalau kakak sibuk belajar buat ujian padahal lagi asik clubbing sama pacar premannya. Aku tau semuanya! Aku melihat! Aku mendengar! Dan aku berbicara!
Hidungku ini juga sudah capek mencium bau alkohol setiap hari, mencium kebohongan yang dilakukan keluargaku, bahkan kulitku ini selalu merinding setiap melihat tingkah laku mereka di luar. Aku harus bagaimana??Apa aku harus hancur seperti mereka?? Aku berpikir kalau aku tak perlu bicara, lebih baik diam daripada harus sering menebar kebohongan di setiap orang.
Untuk masalah huruf braille di netbook-ku, aku memang tidak buta, tapi aku pernah buta. Aku pernah memberikan mataku pada kakakku. Suatu hari, kakakku kecelakaan gara-gara dibonceng pacar sialannya dan ngebut sampai nubruk pembatas jalan hingga kakakku terlempar beberapa puluh meter, itu membuat mata kakakku buta karena luka serius. Sayangnya, kakak hanya menikmati mata barunya itu selama seminggu karena lagi-lagi kakak kecelakaan bersama pacar sialannya yang membuat kakak meninggal dan untungnya pacar sialannya itu ikutan mati jadi aku gak perlu nyewa pembunuh bayaran buat ngebunuh tu orang. Setelah itu, matanya dikembalikan padaku. Kakakku sendiri tidak tahu kalau mata barunya itu sebenarnya adalah mataku. Aku sendiri menggunakan mata kakakku yang rusak dan jadi buta. Aku menghafal huruf braille dalam sehari supaya tetap bisa menjalankan aktifitasku bersama “si kecil” netbook-ku. Kupesan khusus netbook itu, khusus untuk orang buta. Pada akhirnya aku bisa melihat lagi, tapi aku sudah terbiasa dengan keyboard braille itu. Begitulah kira-kira alur hidupku. Terus mengalir namun begitu menyiksa. Tapi yang pasti, aku begitu sayang pada orang tua dan kakakku.
Aku percaya padamu dan bersedia jadi temanmuJ
-Azura-
Arina sempat menitikan air mata saking terharunya membaca surat kehidupan Azura. Arina tak pernah menyangka kalau Azura hidup dengan penuh penderitaan, tapi Arina juga senang karena Azura mau jadi teman Arina. Azura, kau hebat!Satu kalimat singkat Arina. Arina melipat kembali kertas itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop birunya. Arina begitu penasaran ingin mendengar langsung suara Azura dan ingin ngobrol dengannya.
***
Arina berlari melewati koridor menuju kelasnya, kelas 1-A. Dia begitu semangat menyambut pagi, tak sabar ingin bertemu Azura, teman barunya, teman sebangkunya, dan bakal jadi sahabatnya. Arina membuka pintu kelas dengan semangat.
“AZURA..!!” Panggil Arina begitu dia membuka pintu kelas, tapi yang dicarinya tidak ada di tempat, padahal biasanya Azura selalu datang duluan sebelum Arina. Arina berjalan mendekati bangku Azura, tanpa sengaja, Arina melihat secarik kertas di laci meja Azura. Tanpa pikir panjang, Arina mengambil kertas itu dan membaca isinya.
Terima kasih dan sampai jumpa lagi, temanJ
Kalimat singkat itu membuat Arina kaget bukan kepalang. Arina langsung berlari keluar kelas menuju ruang guru, menanyakan keberadaan Azura dan...
“Azura sudah pulang ke Inggris, dia memang cuma sementara disini, cuma sebulan.” Kata Bu Lani, wali kelas 1-A.
Arina berjalan gontai menuju kelasnya, merasa sangat menyesal karena tidak bertanya sejak awal, dengan begitu dia bisa bicara dan mendengar suaranya sebelum Azura pergi. Kini, hanya tinggal kenangan hampa yang dirasanya, belum sempat ia mendengar suaranya, belum sempat ngobrol dengannya, belum sempat main ke rumahnya, belum sempat belajar bersama, belum sempat berbagi hidup dengannya. Hanya surat dan sebuah senyuman yang ditinggalkannya. Arina berhenti sejenak untuk melihat lagit biru cerah dan sekilas melihat bayangan wajah Azura yang sedang tersenyum. Senyum yang sama dengan senyum yang diberikan padanya. “Pantas namamu Azura...artinya langit biru yang cerah.” Kata Arina pelan seraya tersenyum memandang langit yang cerah, sama dengan Azura.
-SELESAI-

 Note: Kalau gak salah inget cerpen ini pernah aku ikutsertakan di lomba nulis cerpen, lupa deh.

Welcome Home Anta!

Cek cerita hilangnya Anta DI SINI Sekitar 2 minggu yang lalu, di malam Jumat yang syahdu, notifikasi HP berdering berkali-kali. Si pecint...