Senin “Kambing”
Aku mulai melihat tingkah adikku yang
sedikit tidak biasa. Hera, namanya. Hera memasang foto sepasang kambing di
figura kesayangannya. Entah apa maksudnya. Aku tetap berdiri di belakang Hera
yang sedari tadi menatap sepasang kambing yang ada di figuranya. Hera
memalingkan wajahnya dan berkata padaku, “Kak, kemarin aku mengambil foto
sepasang kambing lucu ini. Bagus tidak?” tanya Hera dengan senyum simpul di
bibirnya.
“Bagus sekali. Kambing milik siapa itu?”
tanyaku ingin tahu.
“Milik seorang saudagar, kak. Tapi aku
baru dapat kabar, kalau kedua kambing ini telah tiada karena ketidakberadaan
nyawa.” aku terdiam dan Hera kembali menatap foto sepasang kambing itu.
Hera
pernah bercerita padaku, bahwa ia begitu mengidolakan Albert Einsten.
“Di dunia ini
tidak ada gelap, yang ada, hanyalah ketidakberadaan cahaya.”
“Di dunia ini
tidak ada kejahatan, yang ada, hanyalah ketidakberadaan Tuhan di hati di
manusia.”
Ketika Hera berkata bahwa kedua kambing
yang ada di fotonya telah tiada karena ketidakberadaan nyawa, aku langsung
teringat akan cerita Hera tentang Albert Einstein itu. Hera tidak menceritakan
sebab musabab kedua kambing itu mati. Hera begitu senang dengan kata
“ketidakberadaan”. Menurutnya, satu kata itu cukup halus ketimbang harus
mengucapkan kata jahat, gelap, mati dan lain-lain.
Hera adalah anak biasa, ia baru kelas 1
SMP, tapi tingkahnya menjadi tidak biasa sejak masuk SMP. Aku berpikir, mungkin
ini adalah masa transisi Hera yang akan menginjak masa remaja. Aku tak perlu
khawatir akan hal itu. Biarlah Hera menikmati masa-masa remajanya selama itu
baik.
Selasa “Boneka Hera”
Lagi-lagi aku melihat Hera duduk sambil
menatap sebuah foto yang terpasang di figura kesayangannya. Kali ini, foto apa
ya?
Aku
tertegun saat mendekati Hera yang tengah menangis. Aku pun bertanya padanya.
“Dek, kenapa menangis?” tanyaku bingung.
“Bonekaku, kak......” Hera tak sempat
melanjutkan kata-katanya karena isak tangis yang mengiringinya.
Aku
melihat foto di figura itu. Sebuah boneka beruang kecil. Aku tahu boneka itu
milik Hera dan seketika, aku melihat isi kamarnya. Boneka beruang kecil itu
tidak ada.
“Bonekamu kemana, dek?” tanyaku dengan
wajah pias. Boneka itu adalah boneka kesayangan Hera. Aku mulai menebak-nebak,
jangan-jangan boneka itu hilang.
“Beriku lenyap tanpa bekas karena
ketidakberadaan saksi mata.”
Beri,
begitulah Hera memberi nama boneka beruangnya. Aku mengerti apa maksud dari
“ketidakberadaan saksi mata”. Sederhana saja, beri hilang dan tak ada yang
melihat ataupun tahu akan keberadaan beri, termasuk aku.
Hera terus menangis. Anehnya, Hera tidak
berusaha mencari. Hera hanya duduk termenung menangisi foto beri yang ada di
atas meja belajarnya. Aku kasihan melihatnya. Aku pun mencari beri ke setiap
sudut rumah, menanyakan pada ayah dan ibu, mencari ke rumah teman-teman Hera
tapi hasilnya nihil. Tak satu pun orang
tahu dimana keberadaan beri. Aku pulang dengan tangan hampa.
Kakiku melangkah perlahan menuju kamar
Hera. Kulihat Hera sedang tertidur pulas sambil memeluk foto beri. Kemarin
kambing, sekarang boneka, besok? Aku berharap, Hera bisa segera pulih dari
kondisi ketidakberadaan beri. Ah, aku mulai tertular penyakit kronis Hera.
Kulihat air mata Hera masih menetes, kuhapus perlahan air matanya dan aku
berjalan pelan meninggalkannya dalam lelap.
Rabu “Buku usang”
Kembali aku memandang
wajah sendu Hera
Hera tak menangis
Namun sendu begitu
jelas tercetak di wajahnya
Matanya tertuju pada
sesuatu di hadapannya
Sebuah foto
Foto sebuah buku tanpa
sampul
Aku mencoba untuk bisa memahami bahasa
tubuh Hera tanpa harus bertanya. Aku tahu Hera tidak sedang menangis. Kali ini
foto sebuah buku usang tanpa sampul. Ada apakah dengan buku itu? hilangkah?
rusak sudah pasti karena buku itu tanpa sampul. Lalu kenapa Hera begitu sedih?
Akhirnya aku kembali bertanya. Bukan bertanya pada ilalang yang bergoyang, tapi
pada hera yang mematung.
“Dek, ada apa dengan buku itu?” Aku
langsung menuju pada topik permasalahan. Buku usang.
“Sungguh tak bertanggung jawab, orang
yang merusak buku ini hingga tak bersampul. Orang itu tak jahat, hanya
ketidakberadaan tanggung jawab.” Jelas Hera kembali menyinggung tentang
“ketidakberadaan sesuatu”
“Apa itu sangat membuatmu sedih?”
“Sangat.”
Waktu terus bergulir dan ini baru hari
Rabu. Kambing, boneka, buku, besok? Tak ada salahnya jika aku mencatatnya di
buku harianku. Ini adalah proses transisi adikku, Hera. Hera yang pendiam,
mulai banyak bicara. Hera yang pemalu, mulai bisa bertingkah. Hera yang pasif,
mulai aktif. Hera yang lincah, kini lebih banyak duduk di kamarnya, mengganti
foto di figuranya dengan foto-foto yang tak biasa. Hera menambah daftar
pertanyaan di kepalaku.
Kamis “matahari”
“Menurut kakak, bagaimana jadinya jika
kita hidup tanpa matahari?”
“Tentu saja kita tak bisa hidup tanpa
matahari karena kita butuh matahari. Tanpa matahari dunia ini akan gelap
selamanya. Ups, tak ada gelap kan? yang ada hanyalah ketidakberadaan cahaya.”
“Itu kata Albert Einstein, kak.”
Kamis ceria. Hera tak lagi diam dalam
tangis, tak membisu tanpa kata, dan tak hilang dalam kesunyian. Kami tertawa
bersama, menyatu dalam semangat matahari ketika menyinari bumi. Aku tak lagi
khawatir, jika Hera kembali meratapi foto yag ada di atas meja. Hera tetaplah
Hera, adikku sayang.
Hera memasang foto gambar matahari
buatannya di figura kesayangannya dan kali ini, dipandangi foto itu dengan
senyum merekah, tak lagi air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Aku
mengajak Hera jalan-jalan di taman. Hera suka sekali melihat kembang mekar.
Kebetulan, kembang-kembang di taman sedang mekar dengan indahnya. Ini
kesempatan bagi Hera untuk bisa mengabadikan kembang-kembang indah dalam
jepretan kameranya. Barangkali, esok, Hera akan memajang foto hasil jepretannya
di figuranya. Aku tersenyum simpul.
Jumat “Kamera”
Malam kelabu. Kamar Hera gelap gulita.
Ayah dan ibu sedang berkunjung ke sanak saudara di luar kota, praktis hanya ada
aku dan Hera, adikku. Kubuka pintu kamar Hera dan kulihat Hera sedang duduk di
kursi seraya memandangi sesuatu yang ia genggam erat. Aku mendekat, ingin tahu,
apa yang dipandanginya.
Walau
gelap, aku masih bisa melihat foto apa yang Hera lihat karena ada sedikit
cahaya dari luar. Sebuah foto “gelap”. Kusebut gelap karena memang tak ada
gambar apapun di dalam foto itu kecuali warna hitam.
“Dek, kenapa hanya gelap di foto itu?”
tanyaku heran.
“Hanya karena ketidakberadaan cahaya,
kak.”
Aku
terdiam sejenak. Mencoba mencerna kembali apa yang dikatakan Hera, meski Hera
sudah sering mengatakan hal serupa. Aku terus berpikir, ada apa sebenarnya.
Baru saja kemarin, Hera tertawa bersamaku, kini Hera kembali menjadi misterius.
Pelan-pelan, aku bertanya pada Hera.
“Dek, di mana kameramu?”
Hera
terdiam sejenak, kemudian menjawab perlahan, “Kameraku hilang karena
ketidakberadaan uang.”
PLAK!!!
Tanpa
sadar, tanganku mendarat keras di pipi Hera, adikku. Hera terdiam tanpa
mengaduh.
“APA KAU TAHU BERAPA HARGA KAMERA ITU?? DAN APA KAU TAHU BAGAIMANA SUSAHNYA AKU
MENGUMPULKAN UANG UNTUK MEMBELIKANMU KAMERA ITU??” Aku begitu marah. Tak tahu
lagi harus berkata apa. Aku keluar dari kamar Hera, meninggalkannya dalam gelap
kesunyian. Kamera itu khusus kubelikan untuk Hera yang suka sekali memotret.
Kukumpulkan uang untuk membeli kamera itu dan sekarang kamera itu hilang.
Sabtu “Surat”
Aku membuka pintu kamar Hera perlahan.
Kulihat Hera masih tertidur lelap. Kulihat pula bingkai foto kesayangannya yang
dalam posisi terbalik. Aku sudah enggan untuk melihat foto yang ada di bingkai
itu. Rasa kesal masih menyeruak di dadaku. Aku kembali menutup pintu kamarnya
dan segera keluar dari rumah, sekedar mencari ketenangan.
Aku pergi mengunjungi rumah teman di
luar kota. Sebenarnya aku tak ingin meninggalkan Hera, tapi ini kulakukan untuk
menghilangkan rasa kesalku pada Hera. Hanya karena sebuah kamera. Apakah aku
jahat?
Aku mencoba tenang dan perlahan
memikirkan semuanya. Aku sadar, aku salah. Tak seharusnya aku menampar Hera. Dia
adikku, aku harus selalu sayang padanya. Aku malah lebih memilih kamera
ketimbang Hera. Bodoh sekali! Aku menyesal. Maafkan aku, dek Hera. Ini karena
ketidakberadaan hati.
Aku
menulis sepucuk surat untuk Hera. Kutulis rapi di kertas surat lucu berwarna
biru. Aku juga mengabadikan surat ini dalam sebuah kamera handphone-ku. Kelak,
mungkin Hera akan memajangnya di figura kesayangannya. Aku datang, dek.
Minggu “..............”
Antara ketidakberadaan nyawa sampai
ketidakberadaan hati. Dua hal yang saling berkaitan. Aku yang semula tak
memiliki hati hingga tega menampar sang adik hanya karena sebuah kamera, kini
harus menerima kenyataan pahit yang harus kutelan sendiri. Hera meninggal dunia
dengan tenang, Sabtu kemarin. Tubuhku bagai terkena bom, hatiku hancur
seketika, pikiranku melayang, kembali memutar memori kala aku menampar hera,
tanganku bergetar, bibirku turut bergetar, ingin mengucap sesuatu, namun aku
telah kehabisan kata. Tak lagi kusuruh air mataku untuk keluar, air mata
penyesalan ini telah deras mengalir. Kakiku dengan cepat berlari masuk ke rumah
dan melihat sesosok tubuh tertutup selimut. Aku mendekat, kian mendekat, hingga
aku bisa melihat wajahnya.
Hera tak lagi bisa membuka matanya.
Kugoyang-goyangkan badannya, tapi Hera tak bergeming. Kukutuk diriku sendiri
saat ini juga. Ibu memberikan sebuah kotak kecil padaku. Kubuka kotak itu
perlahan. Saat itu juga, air mataku kian deras mengalir.
Sebuah
foto dalam bingkai beserta surat. Foto aku dan Hera. Aku hanya bisa berteriak
memanggil-manggil nama Hera.
Hera
tiada karena ketidakberadaan nyawa.
-SELESAI-
Note: Cerpen ini ada di Buku Antologi Cerpen "Life Puzzle" yang diterbitkan secara Indie oleh nulisbuku.com
Numpang promo ya Admin^^
BalasHapusayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
dengan minimal deposit hanya 20.000 rupiah :)
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
- Telkomsel
- XL axiata
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.IONPK.ME (k)
add Whatshapp : +85515373217 x-)