“Azura
Rosi Chavi”
Begitulah ketika seorang cewek kulit
putih, rambut panjang diikat satu ke belakang, blesteran Indo-Inggris
menuliskan namanya di papan tulis. SMA Kartika menjadi
sekolah barunya di Indonesia setelah menghabiskan masa kecilnya di Inggris. Dia
tak bicara apapun setelah menuliskan namanya, ia langsung duduk di bangku
kosong, di sebelah Arina, cewek asli Indonesia, berambut sebahu dan matanya
agak sipit.
SMA Kartika termasuk salah satu sekolah swasta
elit di Bandung dan bisa dipastikan bahwa penghuni sekolah ini bukan dari
kalangan orang biasa, tapi LUAR BIASA, dalam arti kantongnya tebel dan otaknya
juga terisi. Sekolah elit ini memiliki sistem pembelajaran yang sudah berbasis
multimedia sehingga makin tampak berkelas. Setiap siswa tak lagi memakai buku,
tapi diberikan jatah satu netbook sebagai alat penunjang belajar. Papan tulis
pun hanya sebagai hiasan semata, kurang lengkap kalau kelas tanpa adanya papan
tulis dan jangan ditanya biaya SPPnya, MAHAL!.
Saat istirahat hampir semua murid
mengunjungi kantin Kartika, tempatnya nyaman dan menunya pun gak kalah dengan
menu restoran, jangan ditanya juga soal harga. Di dalam kelas hanya ada Arina
dan Azura yang tetap duduk manis.
“My name is Arina, and
you?” Sapa Arina seraya memberikan tangannya ingin bersalaman. Arina mengira
Azura tak bisa bahasa Indonesia karena
dia lahir dan besar di Inggris.
Azura tetap diam sambil terus mengetik.
Sepertinya ia mengetikkan sesuatu di netbook-nya untuk Arina.
Bukankah
aku sudah menuliskan namaku di papan tulis. Kamu buta ya??
Tulisan di netbook Azura sontak membuat
Arina kaget dan serba salah karena sudah menanyakan namanya. Ia hanya ingin
mendengar suaranya karena sejak dia datang, dia tak sedikit pun mengeluarkan
suaranya.
“Ng..maaf, kalau begitu
aku ke kantin ya. Nice to meet you.” Arina beranjak sambil melambaikan tangan
tapi Azura tetap diam membisu sambil terus mengetik-ngetik sesuatu di
netbook-nya.
Benarkah
mata untuk melihat dan mulut untuk berbicara?
Apa
yang seharusnya dilihat oleh mata dan dikatakan oleh mulut?
Kenapa
aku hanya melihat dan mengatakan kebohongan? -Azura-
Azura terus-terusan menatap layar
netbook-nya dengan sangat serius sambil sesekali menampakan kesedihan di
wajahnya. Waktu istirahat pun habis dan Azura masih setia duduk manis hingga
semua teman-temannya datang. Sang guru pun masuk kelas dengan membawa buku-buku
tebal dan pelajaran Biologi pun dimulai.
“Tolong jelaskan apa
yang kalian tahu tentang Panca Indra?” Tanya Bu Reina, guru Biologi lulusan
UGM. Ibu Reina memang sering mengajukan pertanyaan sederhana di awal pelajaran,
katanya untuk pemanasan. Hampir semua murid mengacungkan tangan, tapi
sepertinya Ibu Reina tertarik untuk menunjuk seseorang yang sedari tadi asik
dengan netbook-nya.
“Azura Rosi Chavi!”
Panggil Ibu Reina yang sudah mengetahui tentang anak baru di kelas ini. “Stand
up please...and...what do you think about the five senses?” Ibu Reina
mengajukan pertanyaan, tanpa tahu kalau Azura bisa berbahasa Indonesia. Mungkin
nama dan orangnya yang tak terlihat seperti orang Indonesia, jadi tanpa sadar
Ibu Reina mengajaknya berbicara dalam Bahasa Inggris.
Azura langsung berdiri tapi tak langsung
menjawab pertanyaan Ibu Reina, dia maju ke depan kelas, mendekati laptop yang
ada di atas meja guru dan mulai mengetik-ngetik sesuatu. Azura membuka notepad
dan mulai mengetikkan satu kalimat. Apa yang diketik Azura dapat dilihat pada
layar LCD karena laptop guru sudah tersambung ke LCD. Semua murid termasuk Ibu
Reina hanya bisa bengong tanpa kata dan penasaran apa yang akan diketikkan oleh
Azura.
Panca
indra, khususnya MATA dan LIDAH, cuma bisa menghasilkan KEBOHONGAN saja!!!
Satu kalimat! Cukup membuat semua
terdiam tanpa kata, tanpa ucapan, tanpa sanggahan, bahkan Ibu Reina masih
menatap satu kalimat itu dengan seksama, sementara murid lain memandangi Azura
yang langsung kembali ke tempat duduknya dengan pandangan aneh bin ajaib.
Setelah duduk, Azura kembali ke rutinitas awalnya, berkutat dengan netbook
kesayangannya. Azura tidak menerima jatah netbook dari sekolah, dia memilih
membawa sendiri netbook-nya. Kembali ia serius menatapi layar netbook-nya dan
sibuk mengetik dengan terus menampakkan wajah inocent-nya. Teman-temannya pun
baru tahu kalau Azura bisa Bahasa Indonesia.
Satu kejadian unik di kelas 1-A, cukup
mudah untuk menjadi unik di seluruh kelas. Tiga puluh mulut kelas 1-A akan
mudah menyebarkan isu ataupun gosip ke seluruh pelosok sekolah, termasuk kantin
bahkan toilet. Nama Azura pun melejit bak selebritis dadakan yang akhir-akhir
ini banyak muncul di TV gara-gara video lipsink di Youtube. Azura tetap cuek
dan masa bodo, dia tetap meluruskan pandangan pada satu titik di layar benda
kesayangannya. Arina dan teman-teman sekelasnya sempat penasaran dengan makhluk
unik ini.
“Hei Azura!” Panggil
Neva, teman sekelas Azura. “Dikirain cuma bisa Bahasa Inggris, gak taunya bisa
bahasa Indo juga to?ngomong atuh dari tadi.” Kata Neva dengan logat sunda
khasnya. Azura tetap diam membisu, membuat Neva agak geram. “HEI! Aku gak lagi
ngomong ama patung kan??” Gertak Neva, Azura masih tetap anteng.
“Tunggu...tunggu...jangan-jangan.....” Neva berpikir sejenak. “Dia ini bisu!!”
Terka Neva sambil melirik ke arah Azura. “Iya gak sih? Sejak dia masuk kelas
pertama kali, dia emang gak pernah buka suara seucrit pun kan?brati dia bi-su!”
Celoteh Neva. Arina sempat kesal, rasanya tak perlu berkata seperti itu di
depan teman-teman sekelas.
Azura hanya menatap Neva beberapa detik,
setelah itu kembali mengutak-ngatik “si kecil” yang selalu nempel di atas meja.
Neva makin geram tapi tak berniat melanjutkan ocehannya, Neva berpikir kalau
Azura memang bisu dan tak berniat mengajaknya ngobrol lagi, ia melengos
meninggalkan Azura dan pergi bersama teman-teman satu gengnya. Neva memang
memiliki pribadi judes dan sangat pilih-pilih teman.
Azura tak selalu lengket dengan
netbook-nya. Sesekali dia berjalan ke luar kelas, tentu saja setelah menyimpan
netbook-nya di loker lalu menguncinya agar tak ada tangan jahil yang menyentuh
“si kecil”. Namun, Azura bukan keluar kelas untuk makan atau paling tidak ke
toilet, dia hanya berdiri dan bersandar di dinding kelas atau melihat suasana
ramai sekolah saat istirahat. Arina suka mengikutinya diam-diam, ingin tahu
atau lebih tepatnya penasaran. Hasilnya, Arina hanya melihatnya sering berdiri
dengan tatapan kosong, seperti orang bingung atau nyaris kesurupan! Setiap
hari, Arina menyempatkan diri menguntit Azura yang makin sering keluar,
biasanya dia tak pernah keluar kelas dan selalu nempel dengan “si kecil”.
Beberapa kali wajah Arina terlihat bingung atau kaget melihat tingkah Azura.
***
Pelajaran Matematika..
Ibu Santi menuliskan satu soal
Matematika di papan tulis. Rupanya papan tulisnya masih berguna, gak cuma
sebagai hiasan.Soalnya cuma satu dan sangat singkat tapi cukup membuat tiga
puluh pasang mata sontak melotot, bingung, soal apa itu? Ibu Santi memang
sangat terkenal dengan soal singkat mematikan buatannya.Ibu Santi memberikan
sebuah soal tantangan, jika ada yang bisa menjawab soal singkat ini dengan
benar, maka dia tak perlu ikut ulangan harian atau ujian semester. Hadiah yang
ditawarkan memang sangat menggiurkan tapi memang sangat sebanding dengan soal
yang ditawarkan. Semua siswa sibuk kasak kusuk dengan teman sebelah atau teman
di belakangnya. Hanya selang beberapa detik dan di tengah kasak kusuk siswa
berdikusi tentang soal tantangan itu, Azura dengan santainya maju dan mengambil
spidol lalu sibuk menuliskan angka-angka gak jelas di papan tulis. Semua murid
bengong tak percaya, tapi Ibu Santi serius menatap jawaban yang dituliskan
Azura tanpa berkata sepatah kata pun.
Kurang dari lima menit, Azura selesai
menuliskan jawaban dari soal tantangan itu. Sontak semua terperangah ketika Ibu
Santi mengangguk pelan sambil tersenyum setelah melihat dengan seksama jawaban
Azura. “Bagus Azura, nilai Matematikamu A!” Kata Ibu Santi tegas dan pasti.
Satu huruf, “A”, telah membuat semua murid kelas 1-A kaget plus iri berat
dengan Azura. Neva, memasang tampang geram dan pastinya menyimpan dendam, tapi
sebenarnya apa salah Azura ya?
“Gue gak akan ngebahas
soal sifat sok pinter lo itu!” Neva mulai ngebentak Azura tanpa ampun. “Gue cuma
mau lo ngomong barang satuuu huruf aja!” Pinta Neva aneh. “BISA GAK???” Neva
mulai meninggikan suaranya. Azura tetap santai sambil menuliskan sesuatu di
selembar kertas kuarto lalu diperlihatkan pada Neva.
Mata Neva terbelalak ketika melihat isi
dari kertas kuarto yang diperlihatkan oleh Azura. Hanya tertulis satu huruf,
“A”, yang ditulisnya dengan ukuran hampir memenuhi kertas. Emosi Neva memuncak
melihat tingkah Azura yang dianggapnya meremehkan dirinya.
“HEH!!GUE BUKAN NYURUH LO NULIS!TAPI
NGOOOMONG!!BENERAN BISU YA LO??!!” Teriak Neva marah, terlihat dari wajah
putihya yang berubah jadi merah. Azura sama sekali tak bergeming, sementara
yang lain malah cengar-cengir karena ulah Azura yang udah jelas-jelas bakal
bikin Neva turun derajat! Kali ini Arina turun tangan.
“Neva!Udah!!” Lerai
Arina sembari melototin Neva. “Kamu gak bisa seenaknya ngomong begitu ke Azura!
Azura punya HAK untuk ngomong atau nggak!Yang penting dia gak bikin ulah
disini, lagipula dia emang pinter dan itu gak dibuat-buat atau sok!” Bela Arina
dengan mata penuh permusuhan, dia tidak terima teman sebangkunya dipermalukan.
Tapi untuk kali ini, Nevalah yang sudah dipermalukan karena ulanya sendiri.
Neva tidak membalas ucapan Arina dan
pergi meninggalkan mereka beserta antek-anteknya. Azura sempat melirik Arina
dengan tatapan heran. Dia mengira kalau teman sebangkunya ini kalem, adem ayem,
kayak ayam mau betelor. Gak disangka-sangka, dia bisa membela Azura dan membalas
kata-kata pedas Neva tanpa takut-takut, tapi gak ada yang tahu kalau di hatinya
sebenarnya sangat takut.
***
Pelajaran Bahasa Inggris....
Bapak Ronald, guru Bahasa Inggris
berdarah Australia, lulusan Oxford. Pak Ronald begitu disukai murid-muridnya
hanya karena satu kata, “darling” dan juga wajah gantengnya. Pak Ronald sering
menyebut murid-muridnya dengan sebutan “darling”, tentu saja membuat para murid
putri serasa melayang di atas awan, jangan ditanya kalau murid cowoknya, asli
merinding! Siang ini, Pak Ronald hendak memulai pelajaran dengan bercerita
panjang lebar, tentu saja dengan Bahasa Inggris, setelah itu, baru dimulai ke
pelajaran inti.
Belum sempat Pak Ronald berkata sepatah
kata untuk memulai pelajaran, tiba-tiba Azura maju ke depan, berhenti di depan
Pak Ronald lalu membungkukkan sedikit badannya tanda berpamitan, namun tanpa
kata, dengan santai, Azura keluar kelas. Para murid hanya mematung, diam,
heran, gak ngerti! Pak Ronald pun tak sempat berkata karena Azura langsung
melengos keluar tanpa kata pula! Dengan sigap, Arina berdiri.
“Maaf pak, saya rasa
Azura punya alasan khusus, saya yakin dia tak perlu lagi belajar Bahasa
Inggris.” Jelas Arina yang bermaksud membela Azura.
“Saya mengerti dan
mencoba menerima pembelaanmu Miss.Arina tapi...” Pak Ronald siaga 45. “Walaupun
Azura itu asli Inggris, bukan berarti dia pintar Bahasa Inggris, dalam arti
bukan pintar berbicara tapi pintar dalam mengenal segala seluk beluk tentang
Bahasa Inggris. Kalian yang tak berdarah campuran pun tetap belajar Bahasa
Indonesia kan?” Terang Pak Ronald dengan sikap bijaknya membuat semua murid
tertegun dan lambat-lambat menerima penjelasan Pak Ronald, rupanya Pak Ronald
ini sudah lancar Bahasa Indonesia. “Tidak apa-apa, ini bukan salahmu
Miss.Arina, saya mengerti kondisi psikologis Miss.Azura saat ini. Mari kita
lanjutkan pelajaran.”Arina hanya mengangguk pelan sambil menatap ke luar
jendela.
Setelah Azura kembali, tak ada seorang
pun yang mau atau berani mengajaknya ngobrol atau paling tidak bertanya. Arina
pun hanya bisa menatapnya dengan beribu tanda tanya di kepalanya. Sedangkan
Azura, tetap dengan kesehariannya, sibuk ngetik-ngetik di netbook-nya tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
Arina tak lagi bisa diam, dia begitu
penasaran dengan pribadi Azura. Sekitar sebulan, Azura tak berbicara sama
sekali, Arina tidak yakin jika Azura bisu. Akhirnya Arina memberanikan diri
untuk bicara dengan Azura setelah semua murid pulang. Tinggal Azura yang masih
setia di tempat duduknya. Arina sudah hafal dengan kebiasaan Azura yang tak
langsung pulang, melainkan diam sejenak di bangkunya selama beberapa saat.
“Maaf sebelumnya, kamu
sebenarnya tidak bisu kan, Azura?” Arina memulai dengan pertanyaan yang
langsung menuju pokok permasalahan. Azura hanya menatap Arina sebentar lalu
beralih lagi. “Aku pernah melihatmu sedang menelepon diam-diam saat semua murid
sudah pulang. Bagaimana mungkin orang Tuna Wicara bisa menelepon tanpa bicara
walaupun seandainya kamu pake bahasa isyarat. Kulihat, HPmu juga bukan model
3G. Kamu juga gak pernah kulihat menggunakan bahasa isyarat di depan orang
seperti penyanda Tuna Wicara pada umumnya.” Arina terus memberikan pendapatnya
sambil terus menatap Azura. “Aku tidak tahu apa kamu pura-pura bisu atau tidak,
aku rasa itu bukan urusanku. Aku cuma ingin kamu percaya padaku dan bersedia
menceritakan apa pun yang ingin kamu curahkan. Aku yakin kamu butuh teman.”
Arina terus bicara sambil tetap menampakkan senyum di wajahnya. “Dan satu
lagi...” Arina sedikit menghela nafas. “kenapa Netbook-mu pake huruf braille
dan bukan QWERTY seperti pada umumnya?kamu kan tidak buta?Aku lihat kamu begitu
lancar menggunakan keyboard braille itu, bahkan lebih lancar dibanding orang
yang menggunakan keyboard QWERTY.”
Azura tetap diam, tapi kemudian dia membuka
tasnya, mengambil sesuatu dari dalam tasnya, sebuah amplop berwarna biru. Azura
memberikan amplop itu pada Arina. Arina menerimanya dengan tampang bingung.
Lalu Azura berdiri diikuti dengan Arina, Azura memberikan senyum pada Arina.
Senyum pertama yang diberikan pada seseorang selama dia sekolah di SMA Kartika.
Sangat bisa ditebak, Arina begitu senang dan kembali membalas senyumnya, tapi
kemudian, Azura langsung mengambil tasnya dan pergi meninggalkan Arina dalam
tawa.
Arina begitu penasaran dengan isi
suratnya. Dia buru-buru pulang untuk segera membaca surat dari teman
sebangkunya itu. Pelan-pelan dibuka amplop biru nan cantik itu lalu mengambil
kertas di dalamnya yang juga berwarna biru.
Dear
Arina
Aku
menulis surat ini karena sudah menduga suatu hari pasti kamu bakal
banyak bertanya padaku. Namaku Azura Rosi Chavi, lahir dan besar di Inggris.
Aku memang bisa Bahasa Indonesia karena ibuku orang Bandung dan sejak kecil,
aku diajari 2 bahasa sekaligus.
Aku
memang tidak bisu....aku bisa bicara....
Aku
memang sengaja tak bicara karena aku tak mau mengeluarkan segala kebohongan
lagi.
Kamu
pasti bingung....
Mataku
ini selalu melihat kebohongan, melihat tingkah polah orang tuaku yang begitu
gemar selingkuh. Kupikir itu sudah menjadi hobi bahkan kebiasaan. Dan lidahku
ini serasa sering merasa pahit setiap mengatakan sesuatu yang bersifat
kebohongan, selalu berbohong ketika harus menyembunyikan perselingkuhan papa
dan mamaku. Selalu berbohong ketika kakak perempuanku meminta aku mengatakan
pada mama dan papa, bahwa dia anak baik dan pintar, padahal, kakak hobi
clubbing dan minum minuman keras, belum lagi pergaulannya yang bebas. Apa kamu
pikir aku tidak tersiksa melihat tingkah laku ortu dan kakakku?? Belum lagi
telingaku yang jarang mendengar kebenaran, selalu saja kebohongan, bohong kalau
papa sibuk kerja padahal lagi jalan sama pacar gelapnya. Bohong kalau mama
sibuk meeting padahal lagi asik sama selingkuhannya dan bohong kalau kakak
sibuk belajar buat ujian padahal lagi asik clubbing sama pacar premannya. Aku
tau semuanya! Aku melihat! Aku mendengar! Dan aku berbicara!
Hidungku
ini juga sudah capek mencium bau alkohol setiap hari, mencium kebohongan yang
dilakukan keluargaku, bahkan kulitku ini selalu merinding setiap melihat
tingkah laku mereka di luar. Aku harus bagaimana??Apa aku harus hancur seperti
mereka?? Aku berpikir kalau aku tak perlu bicara, lebih baik diam daripada
harus sering menebar kebohongan di setiap orang.
Untuk
masalah huruf braille di netbook-ku, aku memang tidak buta, tapi aku pernah buta.
Aku pernah memberikan mataku pada kakakku. Suatu hari, kakakku kecelakaan
gara-gara dibonceng pacar sialannya dan ngebut sampai nubruk pembatas jalan
hingga kakakku terlempar beberapa puluh meter, itu membuat mata kakakku buta
karena luka serius. Sayangnya, kakak hanya menikmati mata barunya itu selama
seminggu karena lagi-lagi kakak kecelakaan bersama pacar sialannya yang membuat
kakak meninggal dan untungnya pacar sialannya itu ikutan mati jadi aku gak
perlu nyewa pembunuh bayaran buat ngebunuh tu orang. Setelah itu, matanya
dikembalikan padaku. Kakakku sendiri tidak tahu kalau mata barunya itu
sebenarnya adalah mataku. Aku sendiri menggunakan mata kakakku yang rusak dan
jadi buta. Aku menghafal huruf braille dalam sehari supaya tetap bisa
menjalankan aktifitasku bersama “si kecil” netbook-ku. Kupesan khusus netbook
itu, khusus untuk orang buta. Pada akhirnya aku bisa melihat lagi, tapi aku
sudah terbiasa dengan keyboard braille itu. Begitulah kira-kira alur hidupku.
Terus mengalir namun begitu menyiksa. Tapi yang pasti, aku begitu sayang pada
orang tua dan kakakku.
Aku
percaya padamu dan bersedia jadi temanmuJ
-Azura-
Arina sempat menitikan air mata saking
terharunya membaca surat kehidupan Azura. Arina tak pernah menyangka kalau
Azura hidup dengan penuh penderitaan, tapi Arina juga senang karena Azura mau
jadi teman Arina. Azura, kau hebat!Satu
kalimat singkat Arina. Arina melipat kembali kertas itu dan memasukkannya
kembali ke dalam amplop birunya. Arina begitu penasaran ingin mendengar
langsung suara Azura dan ingin ngobrol dengannya.
***
Arina berlari melewati koridor menuju
kelasnya, kelas 1-A. Dia begitu semangat menyambut pagi, tak sabar ingin
bertemu Azura, teman barunya, teman sebangkunya, dan bakal jadi sahabatnya.
Arina membuka pintu kelas dengan semangat.
“AZURA..!!” Panggil
Arina begitu dia membuka pintu kelas, tapi yang dicarinya tidak ada di tempat,
padahal biasanya Azura selalu datang duluan sebelum Arina. Arina berjalan
mendekati bangku Azura, tanpa sengaja, Arina melihat secarik kertas di laci
meja Azura. Tanpa pikir panjang, Arina mengambil kertas itu dan membaca isinya.
Terima
kasih dan sampai jumpa lagi, temanJ
Kalimat singkat itu membuat Arina kaget
bukan kepalang. Arina langsung berlari keluar kelas menuju ruang guru,
menanyakan keberadaan Azura dan...
“Azura sudah pulang ke
Inggris, dia memang cuma sementara disini, cuma sebulan.” Kata Bu Lani, wali
kelas 1-A.
Arina berjalan gontai menuju kelasnya,
merasa sangat menyesal karena tidak bertanya sejak awal, dengan begitu dia bisa
bicara dan mendengar suaranya sebelum Azura pergi. Kini, hanya tinggal kenangan
hampa yang dirasanya, belum sempat ia mendengar suaranya, belum sempat ngobrol
dengannya, belum sempat main ke rumahnya, belum sempat belajar bersama, belum
sempat berbagi hidup dengannya. Hanya surat dan sebuah senyuman yang
ditinggalkannya. Arina berhenti sejenak untuk melihat lagit biru cerah dan
sekilas melihat bayangan wajah Azura yang sedang tersenyum. Senyum yang sama
dengan senyum yang diberikan padanya. “Pantas namamu Azura...artinya langit
biru yang cerah.” Kata Arina pelan seraya tersenyum memandang langit yang
cerah, sama dengan Azura.
-SELESAI-
Note: Kalau gak salah inget cerpen ini pernah aku ikutsertakan di lomba nulis cerpen, lupa deh.
Numpang promo ya Admin^^
BalasHapusayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
dengan minimal deposit hanya 20.000 rupiah :)
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
- Telkomsel
- XL axiata
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.IONPK.ME (k)
add Whatshapp : +85515373217 x-)