6 Mei 2020

Neira yang Kutakuti [CERPEN]

Sorot matanya begitu tajam. Tak henti-hentinya ia menatapku dengan tatapan sinis, namun kosong. Aku berdiri tepat dihadapannya. Sebuah dinding dengan sedikit celah berjeruji besi menjadi pembatas dunia kami. Dunianya dan duniaku. Tubuhku gemetar, perasaan takut dan cemas menjadi satu. Satu-satunya yang membuatku takut, hanyalah sorot matanya. Aku mundur perlahan, menjauh dari pintu besi berwarna putih itu. Bahkan saat aku sudah menjauh pun, aku masih bisa melihat matanya yang terlihat merah menyala bagaikan serigala yang tengah melihat mangsanya.
 “Kamu kenapa? Wajahmu pucat sekali.” Seorang perawat menghampiriku yang masih terpaku, tak jauh dari pintu besi itu.
“Ah, tidak apa-apa, sus.” Kataku pelan. Aku pun melewati suster itu dan beranjak keluar.
***
Aku berjalan pelan meninggalkan RSJ (Rumah Sakit Jiwa) kembang Mekar, menyusuri jalan raya yang ramai oleh kendaraan bermotor. Aku melihat sebuah poster film horor yang sedang tayang, berjudul “Dia Ada di Depanmu”. Bulu kudukku bergidik, tubuhku kembali gemetar, dan pikiranku kembali pada sorot mata gadis remaja yang terkurung dalam ruangan isolasi besi itu.Gadis itu seolah ada di hadapanku.
Aku pun berlari sekuat tenaga. Rasa takut menyelimuti hatiku. Aku ingin segera sampai ke rumah dan berlindung di bawah selimut.
“Rei!!” Elsa, sepupuku berteriak memanggilku yang lari terbirit-birit menuju kamarku.
“Kamu kenapa? Seperti habis dikejar anjing saja.” Elsa menghampiriku dan duduk di tempat tidurku, tepat di sampingku.
“Neira itu setan!!” kataku histeris.
“Maksudmu apa?? Dia itu adikmu!” bantah Elsa mencoba menerka pernyataanku.
“Pokoknya, aku nggak mau datang ke sana lagi titik!” bentakku kesal.
***
Reina. Itu namaku. Bisa dibilang, aku anak sebatang kara. Orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis di sebuah hutan saat kami berlibur ke Swiss. Neira adalah satu-satunya keluarga yang aku punya. Neira adalah adik yang sangat kusayangi. Ya, awalnya seperti itu. Sampai akhirnya peristiwa tragis itu terjadi.
***
Aku duduk termenung memandangi layar hitam laptopku. Kutekan tombol power laptop dan warna kelam laptopku berubah menjadi cahaya berwarna yang sekaligus mengubah sedikit warna hatiku.  Perasaan takut masih menyelimutiku sejak aku menjenguk Neira, adikku. Aku tak menganggap Neira gila. Aku tahu, Neira depresi.
Aku mulai membuka browser dan mengetikkan sesuatu di halaman search engine. Muncul banyak berita yang berkaitan dengan apa yang kuketikkan di kolom pencarian. Aku meng-klik salah satu berita dan betapa terkejutnya aku saat melihat apa yang baru saja tampil di depan mataku.
Foto-foto tragis saat kecelakaan di hutan Swiss tergambar jelas di situs tersebut. Darah berceceran, terlihat pula beberapa potongan tubuh yang tercabik oleh sesuatu yang ganas. Otakku tak lagi menangkap apapun selain gambar mengerikan tersebut, sampai pada gambar terakhir yang kulihat. Wajah penuh darah dengan ekspresi yang sungguh tak pernah kubayangkan dan tak ingin kulihat sebelumnya.
“TIDAAAAAAAAAAAAAAAKKKK!!!!!”
Mungkin teriakanku mampu memecahkan jendela kamarku. Aku berlari keluar kamar dengan keringat dingin mengucur deras dari seluruh tubuhku. Sungguh aku tak sanggup berkata-kata. Semua yang terjadi hari ini, sungguh mengganggu pikiranku. Aku menghampiri Elsa yang sudah ada di hadapanku karena mendengar teriakanku, aku pun langsung memeluknya dengan tubuhku yang masih gemetaran.
“Rei! Kau kenapa?” Elsa ikut panik melihat kondisiku yang sangat mengkhawatirkan.
Belum sempat aku menjawab, tubuhku serasa melayang dan akhirnya jatuh bebas di pelukan Elsa.
“REEEI!!”
***
Aku membuka mata secara perlahan. Bau khas rumah sakit begitu jelas tercium lewat hidungku. Selang infus telah tertancap di pergelangan tanganku. Aku melihat sekeliling ruangan. Serba putih. Mataku belum begitu jelas menangkap semua yang ada di ruangan. Namun, mataku terbelalak ketika melihat sorotan mata yang begitu kukenal di luar jendela. Secara reflek, aku mencoba bangun dengan tenaga yang ada. Saking paniknya, aku pun terjatuh dari tempat tidur.
“Toloooooong...” teriakku gemetar.
Seseorang membuka pintu. Elsa kaget melihatku tengah terbaring di lantai dengan wajah ketakutan.
“Rei! Ada apa??” Elsa membantuku bangun dan kembali berbaring di tempat tidur. Aku masih sangat ketakutan dan terus melihat ke arah jendela. Bayangan menakutkan itu sudah tak ada, yang ada hanyalah lambaian tirai jendela.
“A, aku melihat setan itu, kak.” Rasanya mulutku sulit untuk mengeluarkan kata-kata.
“Setan apa??”
“Neira!!”
“Apa maksudmu?? Neira itu sedang di rumah sakit! jangan ngaco kamu!”
“Itu rumah sakit setan! Bukan rumah sakit jiwa!”
Elsa memandangku dengan penuh rasa heran. Elsa keluar dari kamarku, lalu kembali bersama suster yang kemudian memberiku obat. Tak lama kemudian, aku tertidur.
***
“Kak Rei, apa hutan ini aman? Yakin, tak ada binatang buas?”
“Aman kok, Nei. Tenang saja.”
“Kak, ayo kembali ke tempat papa mama. Perasaanku tak enak.”
“Kamu tenang saja, sebentar lagi, kita dapat ikan, nih!”
Beberapa saat kemudian, terdengar teriakan dari kejauhan.
“AAAAAAAAAAAHHHHHH!!!!”
“PAPA!!MAMA!!”
***
“PAPAAA..MAMAAA..!!!”
Aku terbangun dari tidur panjangku karena pengaruh obat bius yang diberikan suster padaku. Mimpi buruk itu kembali.
“REI..!” Elsa mencoba mengguncang-guncangkan pundakku. “Kamu mimpi buruk?”
Aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk bisa berpikir secara normal. Namun, mataku langsung menangkap sosok yang telah kuanggap setan. Neira. Aku melihatnya tengah menatapku dengan sorot matanya yang begitu tajam, seakan penuh dendam. Kulihat Neira berdiri di sudut ruangan dengan........sungguh aku ingin sekali menangis kala melihat kondisinya dan tak sanggup berkata-kata. Wajah penuh darah dengan tangan tercabik hingga putus.
“TIDAAAKKK...KELUAARR KAAUUU!!” Aku berteriak sekeras mungkin sambil menutup wajahku dengan kedua tanganku. Tubuhku kian gemetar karena munculnya sosok itu.
“REI!! Kau ini kenapa?? Sadarlah!” Elsa menahan kedua lenganku yang terus gemetar. Sementara keringat dingin pun mengucur dari tubuhku.
“Setan itu ada di sana! Neira ada di sana!” Aku menunjuk sudut ruangan, tepat di belakang Elsa. Elsa pun menengok ke belakang dan ternyata tidak ada apapun kecuali meja dengan vas bunga di atasnya.
“Kau pasti sedang berhalusinasi. Tidak ada siapa-siapa di sini. Lagipula, Neira juga ada di rumah sakit. Tak mungkin dia di sini. Sebaiknya kau istirahat.” Elsa menidurkanku dan mennutup tubuhku dengan selimut putih.
“Neira pasti dendam padaku. Gara-gara aku, papa mama meninggal secara tragis. Itu semua salahku.” Aku mencoba bersikap tenang, meskipun batinku berteriak memaki diriku sendiri. Betapa bodohnya aku yang tak pernah bisa membaca situasi.
“Berhentilah menyalahkan diri sendiri. Neira sama sekali tak dendam padamu. Neira memang belum bisa menerima semua ini. Bersabarlah.”
***
Aku dirawat di rumah sakit selama seminggu. Kondisiku selalu naik turun. Selama seminggu pula, Neira selalu datang. Entah itu hanya halusinasiku saja atau memang arwah Neira yang gentayangan. Tunggu. Neira, kan, belum mati. Aku tak mengerti, apa yang terjadi padaku. Neira itu adikku. Tak sepantasnya kusebut dia setan. Tapi, aku lelah. Bayangan Neira selalu mengikutiku. Bayangan mengerikan itu selalu menghantuiku. Aku harus bagaimana.
Kedatangan Elsa membuyarkan lamunanku.
“Rei, aku mau ke rumah sakit dulu. Kamu mau ikut?” ajak Elsa yang sudah siap sedia, hendak pergi ke rumah sakit.
“Tidak.” Jawabku singkat. Aku tahu bahwa kehadiranku tak akan membuat Neira membaik.
Elsa mengangguk pelan, tandanya, ia mengerti akan keputusanku. Akan lebih baik, jika aku diam di rumah, mencoba memahami perasaanku dan juga perasaan Neira.
Aku melihat Elsa keluar rumah dan kini aku sendiri, meratapi nasib burukku karena dibayang-bayangi rasa bersalah. Aku tahu, aku salah. Saat itu, aku yang mengajak  Papa, Mama, dan juga Neira untuk berlibur ke Swiss. Aku juga yang mengajak mereka untuk camping di hutan Swiss. Aku juga yang mengajak Neira memancing ikan dan meninggalkan Papa dan Mama. Padahal, aku tahu, ada beberapa kejadian tentang seseorang yang diserang binatang buas. Dan bodohnya, aku tak peduli. Aku merasa situasi aman dan tak mungkin ada binatang buas.
Kebodohanku terbukti saat mendengar teriakan Mama. Aku dan Neira berlari menghampiri sumber teriakan itu. Betapa terkejutnya aku, Papa diserang seekor beruang.
DUK DUK DUK
Hentakan kaki yang begitu cepat itu membuyarkan lamunanku.
“REEEEEEII....!!!”
Elsa berteriak memanggilku. Dalam beberapa detik, Elsa sudah ada di hadapanku. Elsa terlihat begitu gelisah, tampak dari wajahnya yang penuh keringat dan raut wajahnya yang menunjukkan kesedihan yang begitu dalam. Ah, aku sok tahu.
“Ada apa?” tanyaku datar.
“Neiraa...” Elsa memotong kalimatnya sembari mengatur nafasnya.
“Ada apa dengan Neira?”
“Neira Meninggal!!!”
***
“Waktu aku datang ke rumah sakit, para suster dan dokter berkumpul di ruangan isolasi, tempat Neira dirawat. Aku pun segera melihat apa yang terjadi di sana. Betapa kagetnya aku melihat Neira terkapar bersimbah darah dengan perban di tangannya yang sudah terbuka. Lalu......”
“CUKUP!!” aku memotong kalimat Elsa. Aku tak mau dengar. Aku juga tak mau Elsa melanjutkan kalimat-kalimat mengerikan itu.
Aku terduduk lemas di depan pusara Neira, adikku. Air mataku mengalir perlahan, kesedihanku semakin memuncak kala melihat kembali makam Papa dan Mama. Kini mereka telah bersama kembali. Mengapa aku ditinggal sendiri? Mengapa kalian meninggalkanku sendiri? Batinku berteriak. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak kuasa menahan derita ini seorang diri.
Elsa mencoba menenangkanku. Elsa memelukku erat. Aku tak bisa berkata-kata. Hanya air matalah yang bisa kukeluarkan. Baru beberapa bulan, aku kehilangan orang tua. Sekarang aku kehilangan saudara kandungku satu-satunya.
***
“Sudah kubilang, bayangan mengerikan yang selalu datang menghantuiku itu benar-benar Neira!” kataku meyakinkan Elsa. Selama ini, Elsa hanya mengira aku berhalusinasi atau terlalu menyalahkan diri sendiri.
“Entahlah.” Tanggap Elsa singkat.
Aku dan Elsa terdiam sejenak. Kami diam dalam dunia kami masing-masing. Aku beranjak dari kursi, lalu keluar kamar untuk sekedar mencari udara segar. Kepalaku penuh dengan bayangan Neira. Aku berpikir, Neira masih dendam padaku, dan aku pun belum sempat berkata apa pun sampai Neira meninggal.
Aku duduk di bangku taman. Tak ada seorang pun di taman itu kecuali aku. Taman itu terlihat tak terurus. Beberapa tanaman mati dan kebanyakan tak terawat. Aku memejamkan mata sejenak, memikirkan apa yang selama ini terjadi.
Beberapa saat, aku merasakan angin berhembus lebih kencang. Aku membuka mata perlahan dan aku melihat tanaman di sekelilingku tersapu angin. Sampah-sampah beterbangan, pohon-pohon seakan nyaris tercabut.
“Ada apa ini?” tanyaku panik. Aku pun merasa sulit bergerak karena kencangnya angin.
Tiba-tiba, aku melihat seseorang berdiri di ujung taman. Aku tak bisa melihat dengan jelas. Aku berusaha untuk melihat, siapa gerangan orang yang ada di hadapanku ini. Samar-samar, aku mulai bisa melihatnya. Dan aku pun terkejut. Dia memakai pakaian yang sobek di sana-sini, rambut panjang terurai, dan.....tangannya buntung.
“Ne, Neira?” aku berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa yang kulihat itu adalah Neira, adikku.
“Neira? Apa itu kau?” tanyaku pada sosok di depanku yang tetap berdiri tegap.
Sosok itu pun menghilang. Aku berusaha mencari. Aku mengelilingi taman, melihat sekeliling sambil tetap berusaha melawan angin. Namun, beberapa saat kemudian, angin pun kembali seperti semula.
“Pembunuh!”
Suara itu kudengar dengan sangat jelas. Satu kata, “pembunuh”, begitu jelas menancap di telingaku. Sakit sekali rasanya.
“Aku bukan pembunuh! Neira! Dengarkan aku!” aku memanggilnya, ingin bicara dengannya.
“Kau yang membunuh papa dan mama, dan kau juga yang membunuhku. Kau membuatku kehilangan tangan!” suara gaib itu semakin jelas terdengar.
Tubuhku gemetaran, bibirku kelu, tak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba, sosok Neira muncul tepat di hadapanku dengan kondisi yang sungguh menyedihkan. Aku melihat dengan jelas, perban di tangan kanannya terbuka dengan darah menetes. Aku tidak tahu harus bilang apa, entah tangan atau bekas tangan karena memang tangan kanannya sudah tak ada.
Aku tak bisa berpikir jernih lagi. Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi.
***
Aku berdiri di pinggir danau yang berada di tengah hutan. Ya, aku berada di tengah hutan Swiss, tempat kejadian perkara. Perkara terbunuhnya orang tuaku dan terlukanya adikku oleh seekor beruang. Lalu, untuk apa aku ke sini?
Air mataku mengalir. Aku merasa sendiri. Menanggung seluruh beban ini seorang diri. Beberapa saat, aku terus larut dalam kesedihan. Memandang aliran sungai yang tak terlalu deras dengan ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari. Aku melihat wajahku yang terpantul di sungai. Menyedihkan.
Air mataku berhenti mengalir dan raut wajahku berubah setelah melihat bayangan besar yang ada dibelakangku, yang terlihat dari air sungai. Sontak, aku menengok ke belakang dan rasanya, jantungku nyaris lepas. Seekor beruang besar berdiri di hadapanku dengan gigi-giginya yang tajam, siap menerkam apa saja yang ada di depannya, termasuk aku. Tubuhku kaku, tak berani melangkah mundur, apalagi maju. Aku berpikir, inilah saatnya aku melunasi hutangku. Hutang kematian papa, mama dan juga Neira. Tapi....
Kakiku melangkah mundur secara otomatis. Aku takut. Beruang itu pasti sudah sangat siap untuk menjadikanku makan malam. Sosok makhluk lain pun muncul. Neira kembali dan tepat berada di belakang beruang itu. Entah aku harus takut atau senang. Aku pun tak tahu, Neira akan berbuat apa. Menolongku atau sebaliknya.
Beruang itu berbalik, seolah Neira memanggilnya. Neira menatapku dengan tatapan yang begitu tajam, kemudian Neira menatap beruang itu. Aku berpikir, Neira sedang berbicara dengan si beruang. Entah apa yang terjadi, tapi beruang itu pergi. Sulit dipercaya!
Neira kembali menatapku. Kali ini bukan tatapan tajam, tapi jauh lebih lembut. Dua bayangan muncul di balik pepohonan rindang. Dan aku sangat mengenal sosok itu.
“Papa, Mama.” Kataku dengan suara bergetar.
Papa, Mama dan Neira yang mengenakan pakaian serba putih, menatapku sambil tersenyum. Mereka tak bicara apa pun, tapi aku mendengar suara mereka.
“Reina, anakku. Teruslah hidup untuk kami.” Papa tersenyum padaku.
“Reina, anakku. Jangan lagi menyalahkan dirimu sendiri.” kata mama padaku.
“Aku sudah tak marah lagi padamu, kak.” Neira pun akhirnya memberikan senyum pertamanya sejak peristiwa itu.
Dan bayangan mereka pun hilang. Aku berlutut dan mengeluarkan segala emosiku yang tertahan.
“AKU INGIN IKUT KALIAAAAAAAANN!!!”

SELESAI



1 komentar:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
    ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.biz ^_$
    add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^

    BalasHapus

was wes wos...^^

Welcome Home Anta!

Cek cerita hilangnya Anta DI SINI Sekitar 2 minggu yang lalu, di malam Jumat yang syahdu, notifikasi HP berdering berkali-kali. Si pecint...