10 Agu 2012

Anak-anak Suriah [Harus] Ikut Membayar Nyawa

Sejatinya, anak-anak adalah harapan bagi masa depan bangsa. Anak-anak adalah penentu majunya kehidupan suatu negara dan anak-anaklah yang nantinya akan menjadi pemimpin negara kelak jika sudah dewasa. Karena itu, didikan, bimbingan serta perlindungan akan sangat dibutuhkan bagi anak-anak.

Namun, jika melihat artikel VOA yang berjudul "LSM Inggris: Anak-anak Ikut jadi korban Konflik di Suriah" tanggal 28 Juli 2012, tentu saja sangat miris dan disayangkan. Masa kanak-kanak adalah masa bermain dan belajar, tetapi anak-anak Suriah harus ikut menjadi korban dari konflik negerinya.

Dalam artikel tersebut, diberitakan bahwa anak-anak Suriah dengan sengaja dijadikan "sasaran", dan mencatat ratusan kematian dan rekrutmen yang disebabkan oleh konflik bersenjata itu. Bayangkan, konflik bersenjata Suriah telah membunuh ratusan calon penentu masa depan bangsa. 



Konflik Suriah sendiri terjadi karena keinginan masyarakat Suriah yang menginginkan sistem pemerintahan demokratis, di mana pemimpinnya dipilih langsung oleh rakyat. Suriah dipimpin oleh rezim Bashar Al-Assad selama 11 tahun yang oleh rakyat dianggap sebagai pemimpin diktator. Kemarahan rakyat Suriah semakin menjadi kala pemerintah menggunakan kekerasan setiap rakyat berdemo. Rakyat Suriah sendiri menginginkan aspirasi mereka ditampung, bukan sebaliknya. Kondisi ini telah memakan korban jiwa, termasuk di dalamnya anak-anak dan wanita.

Ketidakharmonisan rakyat dan pemerintah dengan pemimpin yang bisa dibilang terlalu lama memimpin sebuah negara juga sempat terjadi di mesir dan bahkan di Indonesia. Namun, sangat disayangkan jika seorang pemimpin negara seakan tak peduli dengan kondisi rakyatnya, padahal bukankah seharusnya pemimpin itu melindungi rakyatnya?

Berdasarkan artikel VOA tersebut, anak-anak yang menjadi korban konflik Suriah sudah mencapai ribuan. Mereka bukan hanya dijadikan sasaran, tapi juga sengaja direkrut untuk menjadi 'pejuang' Suriah. Ini berarti, orang-orang yang dengan sengaja membunuh/menjadikan anak-anak sebagai sasaran dan merekrut anak-anak di bawah umur sebagai 'pejuang' telah melanggar pelanggaran terhadap anak-anak.

Hal ini telah menjadi perhatian UNICEF (The United Nations Children's Fund), sebuah badan PBB yang bertanggung jawab untuk melindungi dan mensejahterakan anak-anak. Tentunya hak anak pun dilindungi dan di Indonesia sendiri juga ada Undang-undang tentang Perlindungan Anak yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002.



Setidaknya, ada beberapa pilihan yang akan terjadi jika mereka terus-terusan ikut menjadikan anak-anak sebagai sasaran atau perekrutan:

1. Tidak menutup kemungkinan, negara tsb akan benar-benar mati karena tidak adanya generasi penerus, yaitu anak-anak itu sendiri. Peperangan yang terus terjadi tanpa adanya kata perdamaian justru akan menghancurkan negara tsb dan juga masalah tidak akan selesai jika pemimpinnya pun tetap bersikap diktator. Hidup itu dimulai dari 0 (nol), bukan langsung ke angka 10. Manusia tidak terlahir lansgung menjadi dewasa, bukan? Apa jadinya sebuah negara jika terus dipimpin oleh seorang pemimpin egois?

2. Setidaknya ada beberapa anak yang selamat dari serangan rezim. Beberapa dari mereka bahkan melihat lansgung bagaimana keluarga mereka dibunuh dan disiksa. Tentunya ini akan berpengaruh pada kondisi psikis mereka. Saya sendiri tak bisa membayangkan jika menyaksikan sendiri seseorang yang dibunuh di depan mata. Seseorang yang mudah terguncang jiwanya oleh suatu peristiwa akan mempengaruhi mental mereka. Bisa menjadi lebih kuat atau malah sebaliknya, jadi depresi. Masa depan mereka jadi taruhannya. Terlebih lagi, masa depan negaranya.

3. Anak-anak yang sengaja direkrut untuk menjadi 'pejuang', otomatis akan dibiasakan berperang dan melakukan kekerasan sejak dini. Bisa dibayangkan kelak jika anak-anak itu sudah dewasa, sikap diktator yang ditanamkan sejak kanak-kanak akan terus terbawa hingga dewasa. Ini sama saja mengulang kesalahan yang sama. Siklus ini akan terus berlanjut entah sampai kapan.

4. Anak-anak yang kehilangan orang tuanya akibat konflik otomatis akan terlantar, tanpa keluarga, tanpa kawan, tanpa pendidikan, tanpa tempat tinggal. Bagaimana masa depan mereka? T.T

Mengapa pasukan bersenjata begitu kejamnya dan tega membunuh anak-anak yang pastinya tak akan bisa melawan?

Dalam konflik bersenjata, anak-anak biasanya dijadikan tameng atau bahkan sandera. Meskipun tidak dibunuh, anak-anak tak berdosa ini dijadikan pasukan bersenjata yang ujung-ujungnya ikut berperang dan besar kemungkinan juga ikut terbunuh. Haruskah anak-anak kehilangan masa kecilnya?



Yuk Mariii T.T




sumber gambar dan referensi

7 komentar:

  1. Ya Alloh, kasian anak2 Suriah..
    Masih kecil harus disuruh berjuang dan kehilangan orang2 yg disayangi :'(

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kesian,,,ditambah lg sama sodara2 di Myanmar :(

      Hapus
  2. kritis juga yah kamu? kayak lagi baca makalah.... :P

    alasan pertama logis juga.... pembantaian terhadap anak bisa juga dibilang genosida secara ga langsung...

    BalasHapus
    Balasan
    1. makalah? hahaha gak ah biasa aj,,cm ingin berpendapat aj kok :)

      Hapus
  3. perang zaman modern memang demikian..tidak mengenal lagi yang mana anak-anak dan orang dewasa, maka jalan terbaik adalah jangan berperang :)

    BalasHapus
  4. salam kenal

    kunjungan perdana

    ditunggu kunjungan balik dan followbacknya

    BalasHapus

was wes wos...^^

Welcome Home Anta!

Cek cerita hilangnya Anta DI SINI Sekitar 2 minggu yang lalu, di malam Jumat yang syahdu, notifikasi HP berdering berkali-kali. Si pecint...