Sorot
matanya begitu tajam. Tak henti-hentinya ia menatapku dengan tatapan sinis,
namun kosong. Aku berdiri tepat dihadapannya. Sebuah dinding dengan sedikit
celah berjeruji besi menjadi pembatas dunia kami. Dunianya dan duniaku. Tubuhku
gemetar, perasaan takut dan cemas menjadi satu. Satu-satunya yang membuatku
takut, hanyalah sorot matanya. Aku mundur perlahan, menjauh dari pintu besi
berwarna putih itu. Bahkan saat aku sudah menjauh pun, aku masih bisa melihat
matanya yang terlihat merah menyala bagaikan serigala yang tengah
melihat mangsanya.
“Kamu kenapa? Wajahmu pucat sekali.” Seorang
perawat menghampiriku yang masih terpaku, tak jauh dari pintu besi itu.
“Ah,
tidak apa-apa, sus.” Kataku pelan. Aku pun melewati suster itu dan beranjak
keluar.
***
Aku
berjalan pelan meninggalkan RSJ (Rumah Sakit Jiwa) kembang Mekar, menyusuri
jalan raya yang ramai oleh kendaraan bermotor. Aku melihat sebuah poster film
horor yang sedang tayang, berjudul “Dia Ada di Depanmu”. Bulu kudukku bergidik,
tubuhku kembali gemetar, dan pikiranku kembali pada sorot mata gadis remaja
yang terkurung dalam ruangan isolasi besi itu.Gadis itu seolah ada di
hadapanku.
Aku
pun berlari sekuat tenaga. Rasa takut menyelimuti hatiku. Aku ingin segera
sampai ke rumah dan berlindung di bawah selimut.
“Rei!!”
Elsa, sepupuku berteriak memanggilku yang lari terbirit-birit menuju kamarku.
“Kamu
kenapa? Seperti habis dikejar anjing saja.” Elsa menghampiriku dan duduk di tempat
tidurku, tepat di sampingku.
“Neira
itu setan!!” kataku histeris.
“Maksudmu
apa?? Dia itu adikmu!” bantah Elsa mencoba menerka pernyataanku.
“Pokoknya,
aku nggak mau datang ke sana lagi titik!” bentakku kesal.
***
Reina.
Itu namaku. Bisa dibilang, aku anak sebatang kara. Orang tuaku meninggal dalam
sebuah kecelakaan tragis di sebuah hutan saat kami berlibur ke Swiss. Neira
adalah satu-satunya keluarga yang aku punya. Neira adalah adik yang sangat
kusayangi. Ya, awalnya seperti itu. Sampai akhirnya peristiwa tragis itu
terjadi.
***
Aku
duduk termenung memandangi layar hitam laptopku. Kutekan tombol power laptop dan warna kelam laptopku
berubah menjadi cahaya berwarna yang sekaligus mengubah sedikit warna
hatiku. Perasaan takut masih
menyelimutiku sejak aku menjenguk Neira, adikku. Aku tak menganggap Neira gila.
Aku tahu, Neira depresi.
Aku
mulai membuka browser dan mengetikkan
sesuatu di halaman search engine.
Muncul banyak berita yang berkaitan dengan apa yang kuketikkan di kolom
pencarian. Aku meng-klik salah satu
berita dan betapa terkejutnya aku saat melihat apa yang baru saja tampil di
depan mataku.
Foto-foto
tragis saat kecelakaan di hutan Swiss tergambar jelas di situs tersebut. Darah
berceceran, terlihat pula beberapa potongan tubuh yang tercabik oleh sesuatu
yang ganas. Otakku tak lagi menangkap apapun selain gambar mengerikan tersebut,
sampai pada gambar terakhir yang kulihat. Wajah penuh darah dengan ekspresi
yang sungguh tak pernah kubayangkan dan tak ingin kulihat sebelumnya.
“TIDAAAAAAAAAAAAAAAKKKK!!!!!”
Mungkin
teriakanku mampu memecahkan jendela kamarku. Aku berlari keluar kamar dengan
keringat dingin mengucur deras dari seluruh tubuhku. Sungguh aku tak sanggup
berkata-kata. Semua yang terjadi hari ini, sungguh mengganggu pikiranku. Aku menghampiri
Elsa yang sudah ada di hadapanku karena mendengar teriakanku, aku pun langsung
memeluknya dengan tubuhku yang masih gemetaran.
“Rei!
Kau kenapa?” Elsa ikut panik melihat kondisiku yang sangat mengkhawatirkan.
Belum
sempat aku menjawab, tubuhku serasa melayang dan akhirnya jatuh bebas di
pelukan Elsa.
“REEEI!!”
***
Aku
membuka mata secara perlahan. Bau khas rumah sakit begitu jelas tercium lewat
hidungku. Selang infus telah tertancap di pergelangan tanganku. Aku melihat
sekeliling ruangan. Serba putih. Mataku belum begitu jelas menangkap semua yang
ada di ruangan. Namun, mataku terbelalak ketika melihat sorotan mata yang
begitu kukenal di luar jendela. Secara reflek, aku mencoba bangun dengan tenaga
yang ada. Saking paniknya, aku pun terjatuh dari tempat tidur.
“Toloooooong...”
teriakku gemetar.
Seseorang
membuka pintu. Elsa kaget melihatku tengah terbaring di lantai dengan wajah
ketakutan.
“Rei!
Ada apa??” Elsa membantuku bangun dan kembali berbaring di tempat tidur. Aku
masih sangat ketakutan dan terus melihat ke arah jendela. Bayangan menakutkan
itu sudah tak ada, yang ada hanyalah lambaian tirai jendela.
“A,
aku melihat setan itu, kak.” Rasanya mulutku sulit untuk mengeluarkan
kata-kata.
“Setan
apa??”
“Neira!!”
“Apa
maksudmu?? Neira itu sedang di rumah sakit! jangan ngaco kamu!”
“Itu
rumah sakit setan! Bukan rumah sakit jiwa!”
Elsa
memandangku dengan penuh rasa heran. Elsa keluar dari kamarku, lalu kembali
bersama suster yang kemudian memberiku obat. Tak lama kemudian, aku tertidur.
***
“Kak Rei, apa
hutan ini aman? Yakin, tak ada binatang buas?”
“Aman kok, Nei.
Tenang saja.”
“Kak, ayo
kembali ke tempat papa mama. Perasaanku tak enak.”
“Kamu tenang
saja, sebentar lagi, kita dapat ikan, nih!”
Beberapa saat kemudian, terdengar
teriakan dari kejauhan.
“AAAAAAAAAAAHHHHHH!!!!”
“PAPA!!MAMA!!”
***
“PAPAAA..MAMAAA..!!!”
Aku
terbangun dari tidur panjangku karena pengaruh obat bius yang diberikan suster
padaku. Mimpi buruk itu kembali.
“REI..!”
Elsa mencoba mengguncang-guncangkan pundakku. “Kamu mimpi buruk?”
Aku
berusaha mengumpulkan tenaga untuk bisa berpikir secara normal. Namun, mataku
langsung menangkap sosok yang telah kuanggap setan. Neira. Aku melihatnya
tengah menatapku dengan sorot matanya yang begitu tajam, seakan penuh dendam.
Kulihat Neira berdiri di sudut ruangan dengan........sungguh aku ingin sekali
menangis kala melihat kondisinya dan tak sanggup berkata-kata. Wajah penuh
darah dengan tangan tercabik hingga putus.
“TIDAAAKKK...KELUAARR
KAAUUU!!” Aku berteriak sekeras mungkin sambil menutup wajahku dengan kedua
tanganku. Tubuhku kian gemetar karena munculnya sosok itu.
“REI!!
Kau ini kenapa?? Sadarlah!” Elsa menahan kedua lenganku yang terus gemetar.
Sementara keringat dingin pun mengucur dari tubuhku.
“Setan
itu ada di sana! Neira ada di sana!” Aku menunjuk sudut ruangan, tepat di
belakang Elsa. Elsa pun menengok ke belakang dan ternyata tidak ada apapun
kecuali meja dengan vas bunga di atasnya.
“Kau
pasti sedang berhalusinasi. Tidak ada siapa-siapa di sini. Lagipula, Neira juga
ada di rumah sakit. Tak mungkin dia di sini. Sebaiknya kau istirahat.” Elsa
menidurkanku dan mennutup tubuhku dengan selimut putih.
“Neira
pasti dendam padaku. Gara-gara aku, papa mama meninggal secara tragis. Itu
semua salahku.” Aku mencoba bersikap tenang, meskipun batinku berteriak memaki
diriku sendiri. Betapa bodohnya aku yang tak pernah bisa membaca situasi.
“Berhentilah
menyalahkan diri sendiri. Neira sama sekali tak dendam padamu. Neira memang
belum bisa menerima semua ini. Bersabarlah.”
***
Aku
dirawat di rumah sakit selama seminggu. Kondisiku selalu naik turun. Selama
seminggu pula, Neira selalu datang. Entah itu hanya halusinasiku saja atau memang
arwah Neira yang gentayangan. Tunggu. Neira, kan, belum mati. Aku tak mengerti,
apa yang terjadi padaku. Neira itu adikku. Tak sepantasnya kusebut dia setan.
Tapi, aku lelah. Bayangan Neira selalu mengikutiku. Bayangan mengerikan itu
selalu menghantuiku. Aku harus bagaimana.
Kedatangan
Elsa membuyarkan lamunanku.
“Rei,
aku mau ke rumah sakit dulu. Kamu mau ikut?” ajak Elsa yang sudah siap sedia,
hendak pergi ke rumah sakit.
“Tidak.”
Jawabku singkat. Aku tahu bahwa kehadiranku tak akan membuat Neira membaik.
Elsa
mengangguk pelan, tandanya, ia mengerti akan keputusanku. Akan lebih baik, jika
aku diam di rumah, mencoba memahami perasaanku dan juga perasaan Neira.
Aku
melihat Elsa keluar rumah dan kini aku sendiri, meratapi nasib burukku karena
dibayang-bayangi rasa bersalah. Aku tahu, aku salah. Saat itu, aku yang
mengajak Papa, Mama, dan juga Neira
untuk berlibur ke Swiss. Aku juga yang mengajak mereka untuk camping di hutan Swiss. Aku juga yang
mengajak Neira memancing ikan dan meninggalkan Papa dan Mama. Padahal, aku
tahu, ada beberapa kejadian tentang seseorang yang diserang binatang buas. Dan
bodohnya, aku tak peduli. Aku merasa situasi aman dan tak mungkin ada binatang
buas.
Kebodohanku
terbukti saat mendengar teriakan Mama. Aku dan Neira berlari menghampiri sumber
teriakan itu. Betapa terkejutnya aku, Papa diserang seekor beruang.
DUK DUK DUK
Hentakan
kaki yang begitu cepat itu membuyarkan lamunanku.
“REEEEEEII....!!!”
Elsa
berteriak memanggilku. Dalam beberapa detik, Elsa sudah ada di hadapanku. Elsa
terlihat begitu gelisah, tampak dari wajahnya yang penuh keringat dan raut
wajahnya yang menunjukkan kesedihan yang begitu dalam. Ah, aku sok tahu.
“Ada
apa?” tanyaku datar.
“Neiraa...”
Elsa memotong kalimatnya sembari mengatur nafasnya.
“Ada
apa dengan Neira?”
“Neira
Meninggal!!!”
***
“Waktu
aku datang ke rumah sakit, para suster dan dokter berkumpul di ruangan isolasi,
tempat Neira dirawat. Aku pun segera melihat apa yang terjadi di sana. Betapa
kagetnya aku melihat Neira terkapar bersimbah darah dengan perban di tangannya
yang sudah terbuka. Lalu......”
“CUKUP!!”
aku memotong kalimat Elsa. Aku tak mau dengar. Aku juga tak mau Elsa
melanjutkan kalimat-kalimat mengerikan itu.
Aku
terduduk lemas di depan pusara Neira, adikku. Air mataku mengalir perlahan,
kesedihanku semakin memuncak kala melihat kembali makam Papa dan Mama. Kini
mereka telah bersama kembali. Mengapa aku ditinggal sendiri? Mengapa kalian
meninggalkanku sendiri? Batinku berteriak. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak
kuasa menahan derita ini seorang diri.
Elsa
mencoba menenangkanku. Elsa memelukku erat. Aku tak bisa berkata-kata. Hanya air
matalah yang bisa kukeluarkan. Baru beberapa bulan, aku kehilangan orang tua.
Sekarang aku kehilangan saudara kandungku satu-satunya.
***
“Sudah
kubilang, bayangan mengerikan yang selalu datang menghantuiku itu benar-benar
Neira!” kataku meyakinkan Elsa. Selama ini, Elsa hanya mengira aku
berhalusinasi atau terlalu menyalahkan diri sendiri.
“Entahlah.”
Tanggap Elsa singkat.
Aku
dan Elsa terdiam sejenak. Kami diam dalam dunia kami masing-masing. Aku
beranjak dari kursi, lalu keluar kamar untuk sekedar mencari udara segar.
Kepalaku penuh dengan bayangan Neira. Aku berpikir, Neira masih dendam padaku,
dan aku pun belum sempat berkata apa pun sampai Neira meninggal.
Aku
duduk di bangku taman. Tak ada seorang pun di taman itu kecuali aku. Taman itu
terlihat tak terurus. Beberapa tanaman mati dan kebanyakan tak terawat. Aku
memejamkan mata sejenak, memikirkan apa yang selama ini terjadi.
Beberapa
saat, aku merasakan angin berhembus lebih kencang. Aku membuka mata perlahan
dan aku melihat tanaman di sekelilingku tersapu angin. Sampah-sampah
beterbangan, pohon-pohon seakan nyaris tercabut.
“Ada
apa ini?” tanyaku panik. Aku pun merasa sulit bergerak karena kencangnya angin.
Tiba-tiba,
aku melihat seseorang berdiri di ujung taman. Aku tak bisa melihat dengan
jelas. Aku berusaha untuk melihat, siapa gerangan orang yang ada di hadapanku
ini. Samar-samar, aku mulai bisa melihatnya. Dan aku pun terkejut. Dia memakai
pakaian yang sobek di sana-sini, rambut panjang terurai, dan.....tangannya
buntung.
“Ne,
Neira?” aku berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa yang kulihat itu adalah
Neira, adikku.
“Neira?
Apa itu kau?” tanyaku pada sosok di depanku yang tetap berdiri tegap.
Sosok
itu pun menghilang. Aku berusaha mencari. Aku mengelilingi taman, melihat sekeliling
sambil tetap berusaha melawan angin. Namun, beberapa saat kemudian, angin pun
kembali seperti semula.
“Pembunuh!”
Suara
itu kudengar dengan sangat jelas. Satu kata, “pembunuh”, begitu jelas menancap
di telingaku. Sakit sekali rasanya.
“Aku
bukan pembunuh! Neira! Dengarkan aku!” aku memanggilnya, ingin bicara
dengannya.
“Kau
yang membunuh papa dan mama, dan kau juga yang membunuhku. Kau membuatku
kehilangan tangan!” suara gaib itu semakin jelas terdengar.
Tubuhku
gemetaran, bibirku kelu, tak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba, sosok Neira
muncul tepat di hadapanku dengan kondisi yang sungguh menyedihkan. Aku melihat
dengan jelas, perban di tangan kanannya terbuka dengan darah menetes. Aku tidak
tahu harus bilang apa, entah tangan atau bekas tangan karena memang tangan
kanannya sudah tak ada.
Aku
tak bisa berpikir jernih lagi. Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi.
***
Aku
berdiri di pinggir danau yang berada di tengah hutan. Ya, aku berada di tengah
hutan Swiss, tempat kejadian perkara. Perkara terbunuhnya orang tuaku dan
terlukanya adikku oleh seekor beruang. Lalu, untuk apa aku ke sini?
Air
mataku mengalir. Aku merasa sendiri. Menanggung seluruh beban ini seorang diri.
Beberapa saat, aku terus larut dalam kesedihan. Memandang aliran sungai yang
tak terlalu deras dengan ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari. Aku melihat
wajahku yang terpantul di sungai. Menyedihkan.
Air
mataku berhenti mengalir dan raut wajahku berubah setelah melihat bayangan
besar yang ada dibelakangku, yang terlihat dari air sungai. Sontak, aku
menengok ke belakang dan rasanya, jantungku nyaris lepas. Seekor beruang besar
berdiri di hadapanku dengan gigi-giginya yang tajam, siap menerkam apa saja
yang ada di depannya, termasuk aku. Tubuhku kaku, tak berani melangkah mundur,
apalagi maju. Aku berpikir, inilah saatnya aku melunasi hutangku. Hutang
kematian papa, mama dan juga Neira. Tapi....
Kakiku
melangkah mundur secara otomatis. Aku takut. Beruang itu pasti sudah sangat
siap untuk menjadikanku makan malam. Sosok makhluk lain pun muncul. Neira
kembali dan tepat berada di belakang beruang itu. Entah aku harus takut atau
senang. Aku pun tak tahu, Neira akan berbuat apa. Menolongku atau sebaliknya.
Beruang
itu berbalik, seolah Neira memanggilnya. Neira menatapku dengan tatapan yang
begitu tajam, kemudian Neira menatap beruang itu. Aku berpikir, Neira sedang
berbicara dengan si beruang. Entah apa yang terjadi, tapi beruang itu pergi.
Sulit dipercaya!
Neira
kembali menatapku. Kali ini bukan tatapan tajam, tapi jauh lebih lembut. Dua
bayangan muncul di balik pepohonan rindang. Dan aku sangat mengenal sosok itu.
“Papa,
Mama.” Kataku dengan suara bergetar.
Papa,
Mama dan Neira yang mengenakan pakaian serba putih, menatapku sambil tersenyum.
Mereka tak bicara apa pun, tapi aku mendengar suara mereka.
“Reina,
anakku. Teruslah hidup untuk kami.” Papa tersenyum padaku.
“Reina,
anakku. Jangan lagi menyalahkan dirimu sendiri.” kata mama padaku.
“Aku
sudah tak marah lagi padamu, kak.” Neira pun akhirnya memberikan senyum
pertamanya sejak peristiwa itu.
Dan
bayangan mereka pun hilang. Aku berlutut dan mengeluarkan segala emosiku yang
tertahan.
“AKU
INGIN IKUT KALIAAAAAAAANN!!!”
SELESAI